JAKARTA (Suara Karya): Julius Daniel Elias Kaat, Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Alor, NTT, menggugat syarat pidana dalam Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin hakim konstitusi, HA Mukhtie Fadjar, Senin, kuasa hukum pemohon, Hendra K Hentas, menyatakan, keberadaan pasal tersebut telah merenggut hak konstitusionalnya untuk mengikuti pemilihan legislatif. "Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu melanggar Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945," katanya.
Ia mengatakan, pasal tersebut memberikan kesan adanya dosa besar dan dosa kecil, padahal semua perbuatan pidana itu dosa.
Di dalam pasal tersebut, disebutkan "Bakal calon anggota DPR, DPRD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota harus memenuhi syarat", yang syaratnya terdapat dalam huruf g. Syarat itu, yakni, "tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih".
"Sekarang, pertanyaannya bagaimana dengan mereka yang terkena ancaman penjara di bawah lima tahun, apa tetap boleh mengikuti pemilihan. Karena itu, kami meminta dihapusnya ancaman pidana penjara lima tahun dalam pasal itu," katanya.
Ia mengakui jika kliennya itu pada 1992 pernah dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun enam bulan dan tuntutan lima tahun penjara karena melakukan tindak penganiayaan. Saat ini, kliennya masih menjabat sebagai kepada desa di Alor, NTT.
"Dengan ditetapkan ketentuan itu, maka hak konstitusional klien saya dirugikan, karena tidak dapat dipilih oleh masyarakat menjadi anggota DPR," katanya.
Sementara itu Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan, diskriminasi yang dimaksud pemohon uji materiil Undang-Undang (UU) No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Ia juga meminta pemohon menjabarkan dalil-dalilnya hingga menyimpulkan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
"Apa dalil ini masih cocok, dan apa maksud dalil jaminan kepastian hukumnya," tanya Palguna.
Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mengatakan, jika pemohon masih ingin meneruskan perkaranya, maka pemohon harus bisa memaparkan alasan hukum yang baru dalam permohonannya. "Pemohon harus punya argumentasi yang kuat bahwa putusan MK sebelumnya tidak terkait dengan permohonan pemohon," ujar Maruarar.
Ketua Majelis Hakim Mukhtie Fadjar juga mempersilakan pemohon untuk memperbaiki permohonannya. "Mungkin ada argumentasi baru yang betul-betul bagus," katanya mengingatkan. (Wilmar P/Ant)
sumber www.suarakarya-online.com (27/05/2008)
Foto Dok Humas MK