Gara-gara anak buah melarikan uang hasil tagihan milik perusahaan, seorang manajer dipecat. Rezim hukum ketenagakerjaan mengenal pembebanan pertanggungjawaban?
E. Hefer Simatupang tidak pernah menyangka pengabdiannya selama lebih kurang 11 tahun di PT. Rotaryana Prima (Rotaryana) akan berakhir tragis. Hefer yang terakhir menjabat sebagai Manager Account Receivable harus menerima kenyataan menerima âsurat cintaâ berisi pemecatan pada Maret 2007. Lebih menyakitkan karena di dalam surat itu ditegaskan ia tidak beroleh uang sepeser pun.
Awalnya, Hefer mengaku sama sekali tidak mengetahui atas kesalahan apa ia dipecat. Namun belakangan baru terungkap, ia dipecat gara-gara kesalahan yang dilakukan anak buahnya. Sebagai manajer yang membawahi bagian kolektor tagihan, Hefer dianggap bertanggung jawab atas kesalahan Joseph A. Dumatubun, salah seorang kolektor, yang membawa kabur uang tunai tagihan milik Rotaryana dari PT. Lavinta Buana Sakti sebesar AS$34 ribu.
âIni sama sekali tidak adil,â kata Prihakasa Kamar, kuasa hukum Hefer. Menurut Prihakasa, jika memang job desk Hefer adalah membawahi kolektor, sanksi berupa pemecatan yang dijatuhkan perusahaan terasa melampaui batas. âSeharusnya ia diberi peringatan terlebih dulu.â
Merasa didzolimi, Hefer melalui kuasa hukumnya pun membawa persoalan ini ke Disnakertrans DKI Jakarta. Mediator pada Disnakertrans menilai tindakan Rotaryana mem-PHK Hefer secara sepihak tanpa dasar yang jelas, adalah suatu kekeliruan. Namun mediator juga mempertimbangkan kesediaan Hefer untuk di-PHK. Sebagai jalan tengah, Rotaryana boleh memutus hubungan kerja dengan catatan membayar kompensasi PHK berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah selama proses yang totalnya mencapai Rp214,6 juta.
Terhadap anjuran itu, Rotaryana dan Hefer bernegosiasi sampai kemudian keduanya sepakat pada besaran kompensasi sejumlah Rp156 juta. Kesepakatan itu pun dituangkan dalam sebuah Perjanjian Bersama yang ditandatangani pada 6 Desember 2007. Namun sayang, Rotaryana masih belum mau menjalankan isi Perjanjian Bersama itu.
Kesal karena Rotaryana tidak melaksanakan Perjanjian Bersama, Hefer memilih untuk menggugat Rotaryana ke PHI pada Maret 2008 lalu. Perkara yang bernomer register 57/G.PHI/PN.JKT.PST ini sendiri sudah memasuki tahap pembuktian.
Berdasakan Peraturan Perusahaan
Ditemui usai sidang pada Selasa (27/5), Unggul Cahyaka, kuasa hukum Rotaryana menandaskan bahwa pemecatan Hefer sudah sesuai dengan Peraturan Perusahaan (PP) yang berlaku di Rotaryana. Di dalam PP itu, kata Unggul, disebutkan mengenai pertanggungjawaban seorang atasan atas kesalahan anak buahnya.
Meski begitu Unggul menyangkal tuduhan yang menyatakan pemecatan Hefer tidak didahului suatu peringatan. âHefer dijatuhkan peringatan keras terlebih dulu untuk menemukan Joseph beserta uang perusahaan yang kabur dibawa Joseph,â Unggul bercerita. Karena gagal menemukan Joseph, Rotaryana akhirnya melarang Hefer untuk datang ke perusahaan. âFakta yang terjadi adalah begitu.â
Perkara yang menimpa Hefer ini terbilang unik. Yogo Pamungkas, pengajar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti bahkan tergelitik untuk urun berpendapat. âSetahu saya, hukum ketenagakerjaan kita tidak mengenal pertanggungjawaban komando seperti di militer,â ujarnya ketika dihubungi hukumonline melalui telepon, Selasa (27/5).
Yogo menegaskan, tidak ada satupun ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang mengatur mengenai pembebanan tanggung jawab atau biasa dikenal dengan vicarious liability. Oleh karena itu, lanjutnya, perlu dilakukan legal audit atas Peraturan Perusahaan yang berlaku di Rotaryana. âPP tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-undang.â
Lebih jauh Yogo membeberkan, terhadap Joseph saja, Rotaryana tidak bisa melakukan pemecatan secara sepihak. âHarus dibuktikan melalui putusan pidana terlebih dulu, baru kemudian di-PHK,â ujarnya. Ia mendasarkan pernyataannya pada ex Pasal 158 yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. âApalagi terhadap si Manajer (Hefer, red) yang tidak terkait langsung dengan penggelapan itu.â
Selain itu, Yogo mengungkapkan, konsep hukum perdata mengenai pertanggungjawaban majikan terhadap kesalahan buruh, juga tidak tepat untuk dipakai dalam perkara Hefer ini. âKarena hubungan Manajer dengan si kolektor bukanlah hubungan majikan-buruh seperti dikatakan dalam hukum perdata. Mereka sama-sama buruh,â jelasnya.
Namun, lain Yogo, lain pula Rusdi Muhtar. Konsultan Hukum Ketenagakerjaan itu berpendapat, seorang atasan bisa saja bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya. âTergantung bagaimana peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau PKB (Perjanjian Kerja Bersama, red) yang berlaku di dalam perusahaan itu,â tandas mantan Kepala Disnakertrans DKI Jakarta itu lewat gagang telepon.
Bagi Rusdi, satu undang-undang tidak bisa mengatur semua masalah tata tertib dan syarat kerja. Dalam kondisi demikian, peraturan yang sifatnya lebih teknis dan berlaku di dalam perusahaan bisa mengisi kekosongan hukum itu.
Seakan membantah pernyataan Rusdi, Yogo mengutip ketentuan Pasal 111 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan dari Pasal tersebut menyatakan, Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan.
Sumber www.hukumonline.com
Foto www.google.co.id