SAMOSIR adalah asalku, Samosir adalah tempat paling mengagumkan di dunia ini, sawahnya menghasilkan padi yang banyak hingga melintasi wilayah perbukitan dipenuhi ternak kerbau.
Potongan syair lagu yang ditulis Nahum Situmorang, salah satu komponis lagu-lagu Batak terkenal, menggambarkan kehidupan masyarakat Samosir di tahun 60-an. Masyarakat masih teguh pada adat istiadat maupun kultur kekerabatan masyarakat Batak.
Nama Pulau Samosir langsung melekat di ingatan jika mendengar Kabupaten Toba Samosir (Tobasa). Keindahan Danau Toba yang mendunia dan tradisi masyarakat Batak di Pulau Samosir seolah maskot kabupaten ini. Maka, apalah jadinya jika keduanya harus "bercerai"?
Jika tidak ada aral melintang, tahun ini Samosir akan resmi menjadi kabupaten yang berdiri sendiri, lepas dari Tobasa-kabupaten awal yang empat tahun lalu dimekarkan dari Tapanuli Utara. Kabupaten ini nantinya mencakup wilayah pulau di tengah Danau Toba ditambah Kecamatan Sianjur Mula-mula dan Harian Boho di "tanah Sumatera", wilayah luar Samosir yang dihubungkan sepotong Tanah Ponggol.
Asisten I Bidang Pemerintahan Kabupaten Tobasa Tonggo Napitupulu mengatakan, jika Kabupaten Samosir disahkan, tidak otomatis Toba Samosir menjadi Kabupaten Toba, meski de facto dan de jure Samosir berdiri sendiri.
Apakah pemisahan Samosir dari Tobasa sekadar wabah pemekaran wilayah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah?
"Keinginan Samosir sebagai daerah otonom bukan tiba-tiba, tapi diperjuangkan oleh tokoh masyarakat adat sejak tahun 1964. Hanya karena peristiwa G30S rencana itu terbengkalai," tutur Robinson Sinaga, Sekretaris Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Samosir (P3KS) di Ambarita, minggu lalu.
Sebagai bukti keseriusan mereka, tidak tanggung-tanggung panitia persiapan dibentuk di tiga lokasi; Pangururan (kecamatan yang akan menjadi ibu kota kabupaten), Medan, dan Jakarta. Sinaga tidak menampik momentum otonomi daerah memberi peluang pemekaran wilayah. Momen yang tepat dimanfaatkan oleh masyarakat Samosir untuk mewujudkan keinginan yang terkubur lama. Setidaknya bagi kelompok masyarakat yang menginginkan pemerintahan sendiri untuk mengatur pembangunan di wilayah 1.419,05 km² tersebut.
Wilayah Samosir terdiri atas daratan dan kaki bukit yang dikelilingi perairan Danau Toba. Secara administratif wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Simalungun dan Karo di utara, Toba Samosir di timur dan selatan, serta Dairi dan Tapanuli Utara di barat.
Berpenduduk 129.633 jiwa, sekitar 1,36 persen berpendidikan setingkat diploma dan sarjana. Pulau Samosir memiliki jalan yang melingkari pulau sepanjang 120 kilometer, namun hanya 44 kilometer yang baik. Sisanya rusak berat, tinggal bongkahan batu-batu besar.
Alasan ketidakpuasan atas kondisi pembangunan di Samosir adalah salah satu yang mendorong pemisahan dari kabupaten induk. "Sejak Samosir di bawah Tapanuli Utara, tidak ada perhatian pemerintah kabupaten memaksimalkan potensi yang dimiliki Samosir," ujar Sinaga.
Ia menyebut bidang pariwisata dan pertanian yang didengungkan sebagai potensi Samosir, justru makin terpuruk. Pulau Samosir sebagai tujuan wisata setelah Bali dan Yogyakarta terimbas kelesuan wisatawan mancanegara.
Ratusan penginapan dari hotel berbintang sampai rumah pondokan milik warga di Tuk- tuk dan Ambarita ikut menelan pil pahit, sepi pengunjung. Tak heran jika banyak yang banting harga sekadar menutup biaya operasional. Kondisi yang sama juga dihadapi penjaja cenderamata dan kerajinan tangan di Tomok. "Sekarang saat liburan pun wisatawan lokal sepi, tidak seperti dulu," keluh Boru Sidabutar, pemilik kios kerajinan di Tomok.
Kondisi sektor pertanian sumber penghasilan utama penduduk Samosir di Ambarita sampai Pangururan tak kalah mengenaskan. Meski penduduk yang menggantungkan hidup di sektor pertanian 60 persen, pertanian di Samosir masih mengandalkan air hujan (saba langit).
Dari seluruh areal persawahan maupun perkebunan sayur-mayur 6.000 hektar, sekitar 4.000 hektar tidak memiliki irigasi. Petani pun harus mengangkut air dari pasir (sebutan masyarakat setempat untuk wilayah pantai Danau Toba). Iring-iringan anak-anak dan orang tua yang bolak-balik menyunggi ember berisi air di atas kepala, menjadi pemandangan yang ironis. Air tersebut ditampung di dalam tong yang diletakkan di tengah-tengah sawah atau kebun. Kemudian, dengan menggunakan gayung petani menyiram tanaman sedikit demi sedikit. Menakjubkan, dari bongkah-bongkah tanah yang kering dan retak-retak itu masih tumbuh tanaman tomat yang lebat buahnya. Petani yang punya uang lebih bisa menyewa pompa air dan selang yang diulur sampai puluhan meter untuk mengalirkan air dari danau ke sawah mereka.
Mauas ni toru ni sampuran. Ini adalah ungkapan yang menggambarkan orang yang kehausan di tepi telaga. Kondisi kekurangan air akan makin menyesakkan saat musim kemarau tiba. Warga terpaksa mengisi bak-bak penampungan air dengan tenaga manusia. Anak-anak sekolah menjinjing air yang dimasukkan dalam botol, kantung plastik, maupun wadah lainnya. Tujuannya? Bila guru dan anak-anak perlu buang air, tidak perlu direpotkan mencari kertas atau memungut daun untuk alat pembersih.
Dalam proposal pembentukan kabupaten yang disusun Prof Dr Ponten Naibaho dkk disebutkan, salah satu alasan pembangunan di Samosir tertinggal ialah letak geografis yang unik. Samosir bukan terletak di lintasan umum. Angkutan danau dari Parapat menjadi alternatif utama karena Samosir cukup jauh jika ditempuh melalui darat yang melewati wilayah Kabupaten Dairi.
Namun lebih dari itu, pembangunan di bawah payung kabupaten baru diharapkan dapat mengubah pola pikir perantau asal Samosir. Tidak lagi sekadar membangun tugu dan kuburan mewah penanda kebesaran keluarga, tetapi usaha yang sifatnya produktif. "Lama-lama Samosir jadi pulaunya orang mati karena warga pulang sesudah meninggal," katanya. (Doty Damayanti)
Sumber www.pilkada.golkar.or.id
Foto http://theglobalguy.com/wp-photos/seasia/samosir.jpg