Mahkamah Konstitusi menganggap proses legislasi dipersoalkan lantaran saluran komunikasi antara para pihak tersumbat.
Kuasa hukum Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur, Dirhamsyah Tousa merasa kecewa. Permohonan uji materi UU No. 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis hakim menyatakan niet ontvankelijk verklaard dalam sidang dipimpin Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Selasa (27/5).
Majelis berpendapat selama proses pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai hasil pemekaran Kabupaten Deli Serdang telah terjadi perubahan di lapangan yang mengakibatkan pemohon merasa dirugikan. Antara lain masuknya tiga kecamatan (Kotarih, Bangun Purba, Galang) ke Kabupaten Serdang Bedagai. "Masyarakat sebenarnya lebih memilih bergabung dengan Kabupaten Deli Serdang," ujar Agusli, salah seorang kuasa hukum pemohon.
Semula pemekaran diusulkan menjadi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Deli, dan Kabupaten Serdang Bedagai. Rencana semula ternyata berubah di lapangan. Perubahan tersebut telah mengakibatkan daerah dimana Pemohon bertempat tinggal, masuk ke Kabupaten Serdang Bedagai Padahal, Pemohon tidak menginginkan pilihan tersebut.
Majelis menegaskan kerugian yang dialami oleh pemohon bukanlah kerugian hak-hak konstitusional yang dimaksud dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang didalilkan pemohon. Kedua pasal yang berbicara mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat dan perlindungan dari perlakuan diskriminatif ini memang menjadi landasan pemohon untuk menguji konstitusionalitas Pasal 4 huruf k, l, dan m Undang-Undang No. 36 Tahun 2003.
Hakim beralasan telah terjadi miskomunikasi dalam proses pembentukan Undang-Undang ini. "Telah ternyata bahwa ketika proses penyerapan aspirasi dan pelaksanaannya di lapangan dalam rangka pembentukan daerah otonom Kabupaten Serdang Bedagai komunikasi tak berjalan semestinya," ucap hakim I Dewa Gede Palguna, saat membaca pertimbangan hukum Mahkamah.
Akan tetapi, lanjut Palguna, hal demikian tak dapat dinilai sebagai pelanggaran prosedur pembentukan UU No. 36 Tahun 2003 yang dapat mengakibatkan bertentangannya UU tersebut dengan UUD 1945. Lagipula, pemohon tidak menghendaki jika Mahkamah menyatakan seluruh materi UU No. 36 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945.
Membaca pertimbangan hukum ini, Dirhamsyah justru melihat adanya peluang untuk mengajukan uji formil ke MK. Sebagai catatan, uji materil memang berbeda dengan uji formil. Dalam uji materil, yang menjadi tolok ukur adalah kerugian hak konstitusional. Yang diuji pun norma berupa pasal, ayat atau materi muatan suatu Undang-Undang. Sebaliknya, uji formil terkait proses pembentukan UU yang tak sesuai prosedur formil. Cacatnya proses pembentukan UU merupakan tolok ukur dari uji formil. MK mempunyai kewenangan untuk melakukan uji materil maupun uji formil. Nah, Dirhamsyah melihat peluang mengajukan permohonan uji formil.
Sebenarnya, di awal persidangan, Dirhamsyah sempat mengajukan permohonan uji formil. Sayangnya, permohonan itu berubah di tengah jalan. Dirhamsyah mengubah permohonan uji formil itu menjadi uji materil. Alasannya, karena UU No. 36 Tahun 2003 tidak hanya membentuk kabupaten Serdang Bedagai, tapi juga kabupaten Samosir. Bila uji formil, maka dampaknya akan luas. Bukan hanya pembentukan Serdang Bedagai yang dibatalkan, pembentukan Kabupaten Samosir pun bisa terkena imbas. "Kala itu, hakim panel (pada saat pemeriksaan pendahuluan,-red) menyarankan agar kita mengajukan uji materil saja. Kalau uji formil resikonya seluruh isi UU No. 36/2003 bisa dibatalkan," ungkap Dirhamsyah.
Kali ini, Dirhamsyah tampaknya tak akan berubah pikiran. Rencana mengajukan permohonan uji formil sudah di depan mata. Ia mengaku akan mempersiapkan permohonan untuk kembali "bertempur" di MK. "Kita akan lebih kejam sedikit," pungkasnya.(Ali)
Sumber www.hukumonline.com
Foto Dok Humas MK