Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Senin (26/05), pukul 10.00 WIB, di ruang sidang Panel Gedung MK. Sidang mengagendakan Pemeriksaan Pendahuluan.
Perkara No. 15/PUU-VI/2008 ini, dimohonkan oleh Julius Daniel Elias Kaat, Ketua DPC PKB Alor, NTT, dengan Kuasa Hukumnya, Hendra K. Hentas, S.H. dkk. Dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 50 Ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 50
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan:
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pemohon beralasan, dengan ditetapkannya ketentuan di atas, maka hak konstitusional Pemohon dirugikan karena tidak dapat dipilih oleh masyarakat menjadi anggota DPR dalam suatu pemilihan umum. Pemohon juga beralasan ketentuan di atas diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Terhadap permohonan di atas, dalam nasihatnya, Ketua Panel Hakim, Prof. Abdul Mukthie Fadjar, mengatakan bahwa MK dalam putusan perkara No. 14&17/PUU-V/2007 sudah pernah memutus perkara yang substansinya sama dengan yang dimohonkan Pemohon meskipun undang-undang yang diuji berbeda. âIni tentu harus menjadi pertimbangan bagi Pemohon, apakah akan meneruskan perkara ini atau berpikir ulang karena telah ada putusan MK terkait substansi syarat pidana ini,â kata Mukthie.
Sementara itu, Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan, menambahkan, jika Pemohon masih berkeinginan meneruskan perkara ini, maka Pemohon harus bisa memaparkan alasan hukum yang baru dalam permohonannya. âPemohon harus punya argumentasi yang kuat bahwa putusan MK sebelumnya tidak terkait dengan permohonan Pemohon dalam perkara ini,â ujar Maruarar.
Terhadap masukan para Hakim Konstitusi, Kuasa Hukum Pemohon, Hendra K. Hentas, S.H., mewakili Daniel mengatakan bahwa kliennya meskipun pernah tersangkut perkara pidana sebagaimana ditetapkan dalam pasal di atas, namun Pemohon sebagai kepala desa bisa menunjukkan kinerja yang baik. âPemohon berprinsip bahwa dosa kecil dan dosa besar adalah sama-sama dosa. Maka, Pemohon beralasan seharusnya tidak ada diskriminasi dalam hal persyaratan,â tukas Hendra.
Sebelum menutup persidangan, Mukthie Fadjar memberi waktu 14 hari bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, sebagaimana diatur dalam undang-undang. (Wiwik Budi Wasito)