Risang Bima Wijaya, S.H. wartawan sekaligus Pemimpin Umum Radar Jogja, dan Bersihar Lubis wartawan/kolumnis di harian umum Koran Tempo, mengajukan permohonan judicial review pasal-pasal yang mengatur ancaman pidana bagi orang yang dianggap melakukan penghinaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar Kamis (22/5), melalui kuasa hukumnya, Anggara, S.H. dari kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya dan menyatakan Pasal 310 Ayat (1) sepanjang anak kalimat âpidana penjara paling lama sembilan bulan atauâ, Pasal 310 Ayat (2) sepanjang anak kalimat âpidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atauâ, Pasal 311 Ayat (1) sepanjang anak kalimat âdengan pidana penjara paling lama empat tahunâ, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP beserta penjelasannya bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28E, dan Pasal 28F UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Para Pemohon merupakan wartawan yang telah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan karena dianggap melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik orang lain melalui berita/tulisan di media cetak. Majelis Hakim Pengadilan menghukum para Pemohon dengan menggunakan ketentuan-ketentuan tersebut.
Para Pemohon menganggap rumusan delik dalam KUHP, khususnya dalam Pasal 311 Ayat (1) dan Pasal 310 bukanlah delik yang secara tegas menganut asas âlex certaâ, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan terhadap tafsir sepihak. Dengan berlakukanya ketentuan-ketentuan tersebut, para pemohon merasa telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya karena sebagai wartawan dapat dengan mudah dipidana akibat menggunakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3) serta Pasal 38F UUD 1945. Mereka juga juga berpendapat bahwa Pasal 207 KUHP telah memberikan perlindungan dan perlakuan istimewa terhadap pejabat negara dan telah menyingkirkan prinsip persamaan di muka hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Pasal 207 KUHP juga dianggap telah mengancam kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, serta kepastian hukum.
âPasal-pasal tersebut dalam praktiknya dipakai para pejabat publik untuk melakukan pemidanaan terhadap wartawan. Oleh karenanya, Pemohon menganggap pasal-pasal tersebut sudah tidak pantas lagi ada di KUHP. Bahkan negara tetangga kita sudah tidak lagi menggunakan ketentuan-ketentuan seperti itu,â jelas Anggara.
Anggara juga menambahkan, akibat adanya ketentuan-ketentuan tersebut, kebebasan berpendapat yang telah dijamin oleh UUD 1945 menjadi mentah kembali. Menurutnya, masih ada cara lain selain pengenaan pidana penjara untuk memberikan sanksi terhadap pencemaran nama baik. âMisalnya gugatan perdata,â imbuhnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Panel Hakim Konstitusi yang dipimpin HAS Natabaya meminta para Pemohon menjelaskan relevansi pasal yang domohonkan dengan legal standing yang didalilkan Pemohon sebagai wartawan. âMengapa wartawan berbeda dengan orang lain dalam menyampaikan pendapat?â tanya Natabaya.
Sementara anggota Majelis Panel, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengingatkan para Pemohon untuk membedakan persoalan inkonstitusionalitas norma undang-undang dengan praktik penerapan yang keliru terhadap norma undang-undang tersebut.
âKalau Saudara hanya mempersoalkan hukuman pidana penjaranya, bila ketentuan-ketentuan yang dimohonkan dihapuskan, berarti siapa saja bebas melakukan pencemaran nama baik tanpa dipidana?â tanya Palguna meminta penjelasan. Palguna juga menegaskan bahwa di negara manapun di dunia, perihal pencemaran nama baik dan penghinaan di muka umum termasuk sebagai tindak pidana.
Anggota Majelis Panel lainnya, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, juga mengingatkan para Pemohon bahwa ukuran konstitusionalitas norma undang-undang di Indonesia adalah UUD 1945 dan tidak ada kaitannya dengan hukum yang diterapkan di negara lain.
Meskipun tetap bersikukuh menganggap permohonannya telah tepat, terhadap pertanyaan dan nasihat dari para Hakim Konstitusi tersebut, kuasa para Pemohon berjanji akan mempertimbangkannya dan akan melakukan perbaikan permohonan jika diperlukan. (Ardli Nuryadi)