Tak ada keharusan bagi seorang kuasa hukum memiliki izin dari Peradi untuk beracara di MK. Todung jadi kuasa hukum sebuah perkara di MK sebelum turun sanksi dari Peradi. Ketua MK Jimly Asshiddiqie menegaskan bila sanksi itu telah inkracht, Todung tak boleh lagi mengaku sebagai advokat ketika beracara di MK. Aturan beracara di MK beda dari MA.
Sanksi pencabutan izin advokat Todung Mulya Lubis secara permanen oleh Dewan Kehormatan Peradi DKI Jakarta mencengangkan berbagai pihak -sanksi itu jatuh akhir pekan lalu (16/5). Sanksi seperti ini memang bukan pertama kali dijatuhkan -pada advokat lain. Namun, hal itu belum pernah menimpa pengacara setenar Todung. Tak ayal, topik ini menjadi pembicaraan hangat masyarakat hukum Indonesia. Apalagi implikasi putusan ini bisa berpengaruh pada perkara yang sedang ditangani oleh Todung di pengadilan. Salah satu kasus yang masih ditangani Todung adalah perkara pengujian UU No. 10/2008 tentang Pemilu Legislatif. Dalam perkara ini, Todung bertindak sebagai kuasa hukum Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Rupanya sanksi ini tidak berpengaruh terhadap eksistensi Todung untuk beracara di Mahkamah Konstitusi (MK). Dua orang hakim konstitusi, Maruarar Siahaan dan Jimly Asshiddiqie ketika dimintai keterangan mengenai hal ini sepakat tetap mempersilahkan Todung beracara di MK dan meneruskan perkara yang sedang ditanganinya.
Maruarar menjelaskan aturan beracara di MK berbeda dari pengadilan di bawah Mahkamah Agung (MA). Bila MA mengharuskan seorang kuasa hukum harus mendapat lisensi dari Peradi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 07/SEK/01/2007, MK tak memiliki ketentuan demikian. "Kita belum menentukan seorang kuasa di MK itu harus yang sudah mendapat izin dari Peradi," tegas hakim konstitusi yang berasal dari MA ini.
MK bukan MA
Karenanya, sanksi ini, menurut Maruarar tak akan memberi implikasi apa-apa terhadap perkara yang sedang ditangani Todung. "Todung bisa tetap beracara di MK. Bahkan yang tak memiliki izin dari Peradi sama sekali, bisa juga menjadi kuasa," jelasnya di Bogor, Sabtu (17/5).
Hal senada juga diutarakan oleh sang Ketua, Jimly Asshiddiqie. Ia meminta agar dibedakan antara status Todung sebagai kuasa yang beracara di pengadilan (MK) dengan Todung sebagai advokat. Menurutnya kalau Todung diberhentikan sebagai advokat maka status advokatnya yang berhenti. "Tapi sebagai kuasa, dia boleh saja," ujarnya. Cuma implikasinya, Todung tak diperkenankan lagi menggunakan pakaian advokat di MK.
Meski begitu, Jimly meminta agar semua pihak menunggu sanksi tersebut sampai berkekuatan inkracht van bewijsde verklaard. "Kita tunggu dulu karena putusannya belum final dan mengikat," ujarnya.
Jimly menegaskan bila putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka tentunya akan berpengaruh terhadap standing Todung untuk beracara sebagai advokat. Sehingga nantinya ketika Todung bertindak menjadi kuasa maka tak boleh lagi mengaku-aku sebagai advokat.
Hal ini pernah terjadi di persidangan MK. Kala itu, Taufik Makarao yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Asshafiyah dicantumkan juga sebagai Advokat Penasihat Hukum pada Kantor Law Office, Lawyer, Legal and Insurance Consultant Arifin Musa, SH & Assosiates. Namun, ketika ditanya apa profesi Taufik yang sebenarnya, ia mengaku hanya sebagai dosen. "Saya bukan advokat, saya dosen fakultas hukum," tegas Taufik.
Mendengar jawaban Taufik, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna sontak kaget. "Di sini (MK,-red) memang tak ada larangan bahwa kuasa itu harus advokat dan sebagainya. Tetapi kalau keterangannya begini seolah-olah nanti saudara jadi advokat. Jadi nanti urusannya dengan Peradi," jelas Palguna. Perdebatan ini memang tak berbuntut panjang, karena pada sidang berikutnya, Taufik mengundurkan diri sebagai kuasa.
Sedangkan Todung, tak berniat mundur selangkah pun. "Tidak ada yang bisa menghalangi saya untuk menjalankan praktek, karena saya tidak menerima putusan ini," ujarnya. Sebagai advokat, Todung mengaku sudah berpuluh tahun berpraktek, sehingga ia tak akan berhenti hanya terkait dengan persoalan ini.
Harus Lebih Tertib
Meski Todung diperbolehkan beracara di MK, kasus ini bisa juga menjadi pembelajaran tentang aturan beracara di MK. "Ke depan harus ada pengaturan yang tertib," ujarnya. Selama ini, hakim konstitusi cenderung percaya saja terhadap kuasa hukum yang mengaku sebagai advokat. Bahkan, Maruarar mengaku tak pernah memeriksa izin yang dikeluarkan oleh Peradi untuk membuktikan orang tersebut benar-benar sebagai advokat. Kasus Taufik Makarao adalah contohnya. Bila Taufik tak berbicara jujur, bukan tak mungkin ia bisa melenggang beracara sebagai advokat.
Jimly justru berbeda. Ia mengaku pemeriksaan izin advokat bagi kuasa yang mengaku sebagai advokat memang sudah dilakukan. Namun, pemeriksaan ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. "Cuma karena Todung sudah biasa (beracara di MK,-red) dan terkenal, ia tidak kita tanya-tanya lagi," jelasnya.
Jimly mengaku belum bisa memastikan, apakah MK perlu membuat persyaratan tentang kuasa hukum. Termasuk apakah kuasa hukum tersebut harus mendapat izin dari Peradi, seperti halnya beracara di MA. Tapi, pada prinsipnya, semua kuasa tak boleh mengaku sebagai advokat kalau dia bukan advokat. "Kalau dia mengaku advokat bisa kena sanksi," tegasnya.
Maruarar lebih memfokuskan agar kuasa itu harus mengerti hukum. Alasannya, agar meningkatkan mutu perkara. Menurutnya, orang yang mengerti hukum tak mesti advokat. Karena tak sedikit advokat di MK yang sering salah dalam membuat permohonan. Salah satunya, adalah advokat Melur Lubis yang pernah menjadi bahan tertawaan di MK.
"Harga" advokat yang sangat tinggi juga dikhawatirkan akan menjadi hambatan orang yang ingin memperjuangkan hak konstitusionalnya di MK. "Mungkin ini menyangkut ketentuan konstitusi yang memberikan legal standing pada individu. Kita pertimbangkan kalau ada seseorang mempertahankan hak-hak asasi itu tidak punya kemampuan finansial untuk membayar lawyer yang memiliki izin," pungkasnya memberi alasan. (Ali/Rzk)
Sumber www.hukumonline.com
Foto www.google.co.id