JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai masih bertentangan dengan konstitusi.
Namun, hanya beberapa saja dari pasal-pasal itu diminta untuk dinyatakan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat, lainnya diharapkan cukup conditionally constitutional.
Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana menyatakan hal itu dalam permohonan judicial review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang akan disidangkan waktu dekat.
"Pasal-pasal KUHP itu termasuk sisa pasal hatzaai artikelen (pernyataan penebar permusuhan--Red) peninggalan Belanda," kata Hendrayana di Jakarta, akhir pekan lalu.
"Rombongan" pasal sejenis, katanya, sudah dinyatakan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK. Di antaranya adalah Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP (pasal penghinaan terhadap persiden) serta Pasal 154 dan Pasal 155 (pasal menyatakan permusuhan dengan pemerintah).
Pasal 207 KUHP yang diuji-materiilkan itu berbunyi "Barangsiapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan dan tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".
Selain Pasal 207, ada beberapa pasal lagi diuji di MK. Antara lain Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 316 KUHP.
Pasal 310 KUHP (1) berbunyi, "Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah". Sedangkan ayat (2) berbunyi, "Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".
Sementara Pasal 311 KUHP ayat (1) berbunyi, "Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun".
Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam Bab ini (Pasal 316 KUHP), dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pegawai negeri pada waktu atau karena menjalankan tugas yang sah.
"Pasal-pasal itu selama ini selalu menjadi momok bagi jurnalis," kata Hendrayana. Berdasarkan catatan LBH Pers, dalam kurun waktu satu tahun, Mei 2007-Mei 2008, tercatat sebelas kasus pidana yang menimpa jurnalis maupun media terkait pemberitaan.
Hendrayana mengharapkan setelah permohonannya dikabulkan tak ada lagi perdebatan mengenai UU Pers lex specialis dari KUHP atau bukan.
Jikalau permohonan dikabulkan, pihak-pihak yang lebih sering menggunakan KUHP dibanding UU Pers tak akan bisa berdalih lagi. "Mereka harus menggunakan UU Pers," ujarnya.
Namun, tiga pasal yang dimohonkan tak perlu dibatalkan seluruhnya. Hendrayana memilih ketiga pasal itu dinyatakan conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat. Ketiga pasal itu bisa tetap eksis tetapi dengan syarat, profesi wartawan dikecualikan. "Harapan kita pasal-pasal itu dikecualikan bagi wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik," katanya. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com (19/05/2008)
Foto www.google.co.id