JAKARTA (Suara Karya): Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan judicial review Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diajukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Meski BPK dinilai memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang dapat mengajukan uji materiil suatu undang-undang terhadap UUD 1945, tetapi karena tak dapat ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusional, maka syarat kedudukan hukum atau legal standing tetap saja dinyatakan tidak terpenuhi.
"Dalam perkara pengujian UU KUP ini, yang bukan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, tidak dapat ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusional BPK akibat berlakunya Pasal 34 ayat (2) a huruf b dan penjelasan Pasal 34 ayat 2a UU Perpajakan," kata Ketua Majelis Hakim Jimly Asshiddiqie dalam pembacaan putusan uji materiil UU KUP di Gedung MK, Jakarta, Kamis.
Majelis hakim MK dalam pertimbangannya menyatakan, pihak yang dibenarkan memberikan keterangan dalam rangka pemeriksaan keuangan negara adalah menteri keuangan (menkeu). Dengan demikian, pejabat negara atau tenaga ahli yang berada di bawah menkeu hanya dimungkinkan memberi keterangan jika telah mendapat izin atau penetapan menkeu. Jika hal itu yang dilaksanakan, maka bisa dipastikan tidak akan ada hambatan apa pun bagi BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara.
Terhambatnya BPK dalam melaksanakan kewenangannya, kata majelis hakim, bukan akibat inkonstitusionalnya norma undang-undang tetapi disebabkan penerapan dari norma undang-undang yang tidak tepat waktu. "Masalahnya terletak pada teknis implementasi. Hambatan yang bersifat teknis itu seharusnya dapat diselesaikan melalui memorandum of understanding," kata majelis hakim.
Terhadap keberadaan audit internal pemerintah, seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan inspektorat jenderal, majelis hakim berpendapat BPK seharusnya terbantu oleh adanya instansi pemerintah tersebut.
Menanggapi putusan MK tersebut, Ketua BPK Anwar Nasution menyayangkannya. "Tidak ada kemajuan," katanya singkat. Sedangkan Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan tidak ada yang menang dalam perkara uji materiil itu. "Tidak usah dikonfrontasikan masalah ini, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah dalam kesempatan ini," ujarnya.
Maruarar Siahaan, salah seorang anggota majelis hakim MK mempunyai dissenting opinion atas hasil uji materiil tersebut. Dia menganggap kedudukan hukum pemohon atau BPK telah dipenuhi, dan penjelasan Pasal 34 dianggap tidak perlu ada karena justru memperluas definisi Pasal 34 ayat (2)a UU Nomor 28 Tahun 2007.
Lebih lanjut majelis hakim MK menyatakan, dalam uji materiil tersebut telah terjadi benturan dua kepentingan hukum yang sama-sama dilindungi konstitusi. Pertama, kepentingan hukum berupa hak konstitusional wajib pajak (WP) atas harta bendanya sebagaimana dimaksud Pasal 28 g ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini jaminan kerahasiaan yang dilindungi undang-undang atas segala informasi yang telah diberikan kepada negara (fiskus) berkenaan dengan kewajibannya untuk membayar pajak menurut prinsip self assessment.
Kedua, kepentingan hukum berupa kewenangan konstitusional BPK untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara secara bebas dan mandiri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 e ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, BPK diharuskan memeriksa semua dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b UU BPK.
Untuk menjembatani dua kepentingan hukum yang berbenturan itu, menurut majelis hakim, harus ada penyerasian antara UU Perpajakan dan UU BPK dan undang-undang lain yang berkait dengan keuangan negara. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com (16/05/2008)
Foto Dok Humas MK