JAKARTA. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi akhirnya mengandaskan keinginan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memperoleh wewenang lebih dalam mengakses data perpajakan, terutama wajib pajak. MK menegaskan data wajib pajak merupakan bagian dari hak asasi manusia sehingga negara perlu melindunginya.
Sembilan orang majelis hakim MK membacakan putusan ini selama hampir dua jam secara bergantian pada Kamis (15/5). Wajah Menteri Keuangan Sri Mulyani pun berbinar-binar, terutama ketika mendengar hakim konstitusi H. A. S. Natabaya membacakan putusan bahwa tak ada kerugian konstitusional bagi BPK dengan berlakunya Undang-undang (UU) No 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau UU KUP.
Secara umum, keputusan MK tersebut juga menyarankan tiga hal. Pertama, BPK dan Departemen Keuangan segera meneruskan pembuatan memorandum of understanding (MoU) mengenai tata cara BPK memeriksa wajib pajak. MoU itu akan menjadi kompromi atas perbedaan pendapat antara Departemen Keuangan dan BPK.
Kedua, BPK sebaiknya segera melaporkan ke polisi jika meragukan data-data perpajakan serta menemukan indikasi kerugian negara. Ketiga, BPK juga bisa mengikuti prosedur seperti yang tertuang dalam Pasal 42 ayat 3 UU KUP. Yakni, BPK meminta izin kepada Menkeu untuk memeriksa wajib pajak jika mencurigai ada kerugian negara dari penerimaan pajak.
Cuma memang, dalam kesimpulannya, MK sebenarnya mengakui ada tumpang tindih wewenang antara UU KUP, dengan UU Keuangan Negara, UU Pemeriksaan Keuangan Negara maupun UU BPK. Meski demikian, MK menilai hal itu tidak merugikan BPK.
Toh, keputusan hakim MK dalam mengadili uji materi UU KUP itu masih lonjong. Salah satu anggota hakim, Maruarar Siahaan, mengajukan pendapat berbeda atau dissenting oppinion. Ia membantah klaim pemerintah bahwa pembatasan wewenang pemeriksa eksternal di negara lain merupakan hal lumrah.
Maruarar berpendapat, di Inggris, Amerika Serikat, Canada, Australia, juga di Malaysia dan Belanda, pemeriksa keuangan negara boleh membuka dokumen pajak. Asalkan, alasan pembukaan itu demi kepentingan umum.
Laporkan ke polisi
Menanggapi putusan MK ini, Menkeu Sri Mulyani setuju dengan saran MK untuk membuat protokol audit pajak. "Kami akan mendiskusikan lagi dengan BPK bagaimana tata cara BPK mengaudit pajak. Prinsipnya kami tetap ingin BPK menjadi auditor eksternal yang independen bagi pemerintah," katanya.
Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution menambahkan, dalam protokol itu, BPK cukup mengaudit sampel dari beberapa wajib pajak. "Tidak mungkin BPK mengaudit seluruh wajib pajak," tandas Darmin.
Ketua BPK Anwar Nasution menanggapi dingin ajakan Menkeu. Ia malah meminta Departemen Keuangan segera menunjuk pejabat yang bertugas untuk melayani data-data yang dinginkan oleh BPK. Dengan begitu, permintaan BPK soal data-data perpajakan bisa segera terpenuhi. "Tak perlu MoU, tunjuk saja pejabatnya, siapa yang harus kami temui saat ingin melakukan audit," kata Anwar.
Anwar tetap mengancam, BPK akan melaporkan aparat pajak ke polisi jika menghalangi BPK untuk mencari data pajak. "Kami akan perlakukan seperti Mahkamah Agung, kami laporkan saja kepada polisi kalau mereka enggak mau diaudit," ungkap Anwar.
Anwar menambahkan bahwa transparansi data pajak itu akan menjadi penentu BPK dalam memberikan opini terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). BPK, tegas Anwar, selamanya tidak memberi opini alias diclaimer LKPP seandainya Departemen Keuangan tetap menutup rapat akses data pajak. (Syamsul Ashar, Adi Wikanto, Hans Henricus Benedictus)
Sumber www.kontan-harian.com (16/05/2008)
Foto Dok Humas MK