MK menilai rencana mem-buat memorandum of understanding antara BPK dan Menteri Keuangan merupakan jalan keluar yang tepat. Selain itu, forum Sengketa Kewenangan Lembaga Negara juga sangat mungkin ditempuh.
Upaya hukum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memperoleh free pass dalam mengaudit Direktorat Jenderal Pajak akhirnya kandas. Permohonan uji materi salah satu frase Pasal 34 ayat (2a) huruf b berikut penjelasannya dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dinyatakan tak dapat diterima alias NO oleh Mahkamah Konstitusi. âNiet ontvankelijk verklaard,â ucap Ketua Majelis Hakim Jimly Asshiddiqie menggunakan bahasa Belanda di MK, Kamis (15/5). Inilah putusan yang digadang-gadang.
Frase yang persoalkan oleh auditor duit negara itu antara lain âditetapkan oleh Menteri Keuangan untukâ. Intinya, dalam menjalankan tugasnya mengaudit lembaga fiskus itu, BPK harus mengantongi izin dari Menkeu terlebih dahulu. Namun, dalam prakteknya, Ketua BPK Anwar Nasution mengeluhkan izin tersebut sulit sekali didapat.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menilai tak ada kerugian kewenangan konstitusional yang diterima oleh BPK lantaran berlakunya frase dalam pasal itu. Memang, kedudukan hukum atau legal standing BPK dijamin oleh Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang MK untuk mengajukan uji materi.
âKarena tidak terpenuhinya syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional mengakibatkan tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan UU MK,â jelas Hakim Konstitusi HAS Natabaya.
Secara sederhana, MK menilai persoalan ini hanya sebatas adanya ketidakharmonisan antar Undang-Undang. Sebuah persoalan klasik yang sering ditemui di negara ini. Jimly mencatat ada ketidaksinkronan antara UU KUP dengan UU Keuangan Negara (UU 17/2003), UU Pemeriksaan Keuangan Negara (UU 15/2004), dan UU BPK (UU 15/2006). Sehingga terjadi benturan dua kepentingan hukum yang sama-sama dilindungi oleh konstitusi. Apalagi, lanjut Jimly saat membacakan konklusi, perkara ini bertajuk pengujian UU, bukan perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. âSehingga tak dapat ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusional BPK,â ujarnya.
MK tentu menyadari penyerasian UU membutuhkan waktu yang tak sebentar. Sebelum pembentuk UU melakukan itu, BPK ternyata masih bisa âmemaksaâ Menkeu memberi izin dengan alasan âuntuk kepentingan negaraâ. Natabaya menjelaskan Jika BPK dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menemukan indikasi terjadinya tindak pidana, maka BPK meminta bukti tertulis dari atau tentang wajib pajak. Hal ini demi alasan âuntuk kepentingan negaraâ sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (3) UU KUP.
UU KUP
Pasal 34 ayat (3)
Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud ayat (2) supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang wajib pajak kepada pihak yang ditunjuk.
Nota kesepahaman
Selain itu, MK juga menyarankan agar memorandum of understanding (MoU) antara BPK dan Menkeu yang sempat mengemuka segera dilanjutkan kembali. Bahkan, MK menilai MoU merupakan jalan keluar yang tepat untuk menyelesaikan persoalan ini. Natabaya mengatakan yang dipersoalkan selama ini hanya berupa hambatan teknis. âHambatan yang bersifat teknis seperti demikian pun seharusnya dapat diselesaikan melalui MoU,â tuturnya.
Sekedar mengingatkan, pembahasan MoU antara BPK dan pemerintah tentang pemeriksaan atas Ditjen Pajak ini bukan hal yang baru. Bahkan, konsep MoU itu sudah hampir mendekati final sebelum terhenti. Beberapa waktu lalu, Dirjen Pajak Darmin Nasution mengatakan pembahasan MoU ini terhenti karena tiba-tiba BPK membawa persoalan ini ke MK.
Usai persidangan, kedua belah pihak memiliki pendapat berbeda dengan MoU ini. Menkeu Sri Mulyani setuju dengan saran MK agar MoU segera diterbitkan sebagai jalan keluar terhadap persoalan ini.
Sedangkan, kubu BPK seakan sudah tak tertarik lagi dengan rencana pembuatan MoU ini. âMoU itu kan hanya pintu masuk. Dia tak bisa menginterpretasi UU,â tutur Ketua BPK Anwar Nasution memberi alasan.
Kepala Direktorat Bidang Hukum BPK Hendar Ristriawan juga sepakat dengan Anwar. âApakah nota kesepahaman tersebut dapat mengesampingkan pasal-pasal yang ada dalam sebuah UU?â tukasnya dari balik telepon. Makanya, Hendar pesimis MoU dapat menjawab semua masalah.
Uniknya, Anwar terkesan lebih setuju dengan jalan lain yang sedikit menyeramkan. Yaitu, lapor ke kepolisian. âPilihan lain adalah mengadukan mereka ke polisi atau laporan keuangan mereka akan terus menerus disclaimer,â ujarnya.
Sebelumnya Anwar pernah âmenggertakâ Mahkamah Agung dengan hendak melaporkannya ke kepolisian. Kali ini masalah biaya perkara. BPK hingga kini belum dapat memeriksa biaya perkara itu. Namun, setelah keduanya didamaikan oleh presiden, Anwar mencabut laporan itu,
Dalam persidangan sebelumnya, Anwar memang sempat mengutarakan persoalan ini bisa berbuntut pidana. Acuannya adalah Pasal 24 UU 15/2004 yang mencantumkan sanksi pidana bagi setiap orang yang tak menjalankan kewajiban menyerahkan dokumen atau menolak memberi keterangan yang diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Dissenting opinion
Putusan yang diandatangani oleh sembilan hakim konstitusi ini tidak bulat. Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Berbeda dari delapan koleganya, Maruarar justru mengatakan seharusnya MK mengabulkan sebagian permohonan ini. Ia pun merinci permohonan itu menjadi tiga bagian.
Terhadap frase ditetapkan âMenteri Keuangan untukâ yang terdapat Pasal 34 ayat (2a) huruf b itu, Marurar menilai seharusnya putusan MK dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Ketentuan itu tak bertentangan dengan UUD 1945, dengan syarat ketetapan yang dikeluarkan Menkeu harus dalam waktu yang secepat-cepatnya. âSehingga dapat dipahami sebagai upaya untuk mendukung dan tidak menghambat pemeriksaan atau audit yang dilakukan BPK dengan cara yang sebaik-baiknya,â jelas Marurar. Dalam persidangan, Anwar memang mengeluhkan lambatnya balasan surat Menkeu terkait permintaan izin yang diajukan oleh BPK.
Sedangkan mengenai frase âatau instansi pemerintahâ yang terdapat pasa Pasal 34 ayat (2a) huruf b diakui oleh Maruarar memang tak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, beda halnya dengan penjelasan Pasal 34 ayat (2a) huruf b yang juga dipersoalkan BPK. Ia menilai penjelasan dalam pasal ini telah membentuk norma baru dan juga membatasi akses BPK terhadap dokumen dan data informasi wajib pajak secara tidak proporsional dan rasional. Sebelumnya, para ahli yang dihadirkan masing-masing pihak memang sempat memperdebatkan penjelasan pasal ini.
Meski terpaksa menelan rasa masygul, nasi sudah jadi bubur. âKita hormati putusan MK sebagai lembaga tertinggi wasit konstitusi,â tukas Hendar. Selanjutnya, bagi Hendar, pemeriksaan terhadap Ditjen Pajak oleh BPK tak bakal berubah kondisinya. BPK berhak memeriksa, tapi -dengan huruf T besar- atas izin Menkeu.
Ketua Pengadilan Pajak Abdullah Anshari Ritonga menilai BPK memang tak dapat memeriksa dokumen wajib pajak. Menurutnya, jika auditor negara ini bisa memperoleh berkas itu, bisa bocor ke pihak lain. âTermasuk kepada saingannya,â ujarnya akhir pekan lalu (9/5).
Namun, berulang kali Hendar menegaskan, pasukannya tak memeriksa data wajib pajak. âYang kami audit Ditjen Pajak,â sambungnya. Bagi Hendar, UU KUP tak ada salahnya melindungi kepentingan wajib pajak sebagai warga negara. âTak ada satu pasal pun dari UU KUP yang menyatakan BPK berhak periksa wajib pajak,â timpalnya.
Hendar juga memandang opsi mengajukan gugatan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) untuk kasus ini berat. âSulit karena baik BPK maupun Ditjen Pajak menjalankan dua UU yang berbeda,â tuturnya. Artinya, lagi-lagi balik pada kondisi awal yang menyebabkan judicial review ini, dua-duanya merasa punya kewenangan masing-masing.
Nah, jika sudah ada putusan, akur sajalah.
(Ali/Ycb/Sut)
Sumber www.hukumonline.com (15/05/2008)
Foto Dok Humas MK