JAKARTA (Suara Karya): Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pimpinan Maruarar Siahaan menerima perbaikan permohonan sekaligus mengesahkan bukti-bukti yang diajukan pemohon uji materiil UU No 29 tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Biem Benyamin.
"Majelis mengharapkan pemohon menyiapkan saksi-saksi yang mendukung permohonan ini," kata Maruarar dalam sidang kedua pengujian UU No 29 tahun 2007 tentang Pemprov DKI Jakarta dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemda di MK, Jakarta, Rabu.
Pemohon yang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan anak aktor kenamaan Benyamin Suaeb (alm), dalam perbaikan permohonannya meminta MK untuk membuat keputusan yang melebihi permohonannya. Sebab, permohonan uji materiil terhadap Pasal 1 angka 10, angka 11, dan angka 12 UU DKI telah dihapuskan.
Biem mengatakan, melalui penghapusan Pasal 1 angka 10, angka 11, dan angka 12 UU DKI, MK diharapkan MK dapat membatalkan Pasal 19 UU DKI soal pemilihan walikota di Jakarta.
Pasal 1 UU DKI mengatur keberadaan suku dinas di Jakarta, yang berarti jika Pasal 19 UU DKI dibatalkan, maka keberadaan suku dinas itu berubah menjadi level kota administratif. "Dengan dihapuskan Pasal 1 UU DKI, maka hanya ada tiga pasal saja yang diuji materikan, yakni, Pasal 227 ayat (2) UU Pemda, Pasal 19 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), ayat (7), ayat (8) dan Pasal 24 UU DKI," tuturnya.
Biem Benyamin mengajukan uji materi Pasal 227 ayat (2) UU Pemda dan Pasal 19 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) serta Pasal 24 UU DKI.
Ia menilai pelaksanaan otonomi daerah di Jakarta seperti tertera dalam pasal kedua UU itu bertentangan dengan Pasal 18 serta Pasal 18 b Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pasal-pasal dalam kedua UU itu juga, telah menyebabkan kerugian konstitusional pada diri pemohon untuk memilih dan dipilih sebagai walikota di wilayah DKI Jakarta.
Dalam UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat (1) disebutkan setiap pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, harus terdiri dari unsur eksekutif dan legislatif. Namun di Jakarta, pada tingkatan kota tidak ada DPRD selaku perwujudan unsur legislatif.
Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 juga menetapkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Di daerah lain, termasuk juga daerah istimewa, dilakukan pilkada untuk memilih kepala daerah. "Mengapa di Jakarta ini walikota dan bupati tidak dipilih lewat pilkada," tanya Biem.
Ia juga mempertanyakan mengapa sistem pemerintahan di Pemprov DKI bertentangan dengan UUD 1945. "Karena status Jakarta sebagai daerah khusus," Biem kembali bertanya. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com (15/05/08)
Foto Dok Humas MK