Ultra petita adalah putusan melebihi apa yang dimintakan pemohon. Kalau pemohon tak setuju pada suatu norma, seharusnya mencantumkannya dalam petitum.
Mungkin kejadian ini baru pertama kali terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK). Seorang pemohon meminta MK memutus ultra petita (melebihi apa yang diminta pemohon). Hal ini dilakukan oleh Biem Triani Benyamin dalam pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU DKI Jakarta).
Logikanya, bila pemohon tak setuju dengan kehadiran suatu norma, maka seharusnya ketidaksetujuan itu dicantumkan dalam petitum. Namun, Biem mempunyai alasan tersendiri tak melakukan itu. Alasan itu, dipaparkannya dengan jelas dalam permohonannya.
Dalam sidang bertajuk sidang pemeriksaan perbaikan permohon ini, Biem mengakui telah menghilangkan beberapa pasal atau ayat yang dimintanya dalam petitum. Kali ini, ia mengaku hanya ingin fokus terhadap pasal-pasal terkait pengangkatan walikota/bupati tanpa melewati proses pilkada dan terbentuknya DPRD Kota/Kabupaten di wilayah DKI Jakarta. Pasal-pasal yang diminta untuk diuji adalah Pasal 227 ayat (2) UU Pemda, serta Pasal 19 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan Pasal 24 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4).
Ini berbeda dengan permohonan Biem pada permohonan sebelumnya (belum diperbaiki). Kala itu, ia meminta hampir setengah dari isi UU DKI Jakarta untuk diuji.
Uniknya, meski telah menghilangkan beberapa pasal untuk diuji, Biem masih mengharapkan pasal-pasal yang dihilangkan dari petitum itu, tetap diputus oleh MK. Ia mengungkapkan selain pasal-pasal yang menjadi tuntutan pemohon untuk dibatalkan, terdapat juga sejumlah Pasal dan/atau ayat dan/atau frase yang memiliki keterkaitan erat.
âMaka pemohon pun berharap kiranya Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang melebihi daripada petitum pemohon (ultra petita),â ucap Anggota DPD dari provinsi DKI Jakarta ini saat membacakan permohonan di MK, Rabu (14/5). Salah satu yang tak dimasukan ke dalam petitum adalah seputar kota administatif. âKita minta kota administatif kembali menjadi kotamadya. Sehingga kata "administatif" agar dihilangkan saja. Tapi ini hanya kita masukan ke posita saja,â tambahnya.
Usai persidangan, Staf Ahli Biem di bidang politik, David Poliraja mengungkapkan kenapa ada permintaan ultra petita dalam posita permohonan. Ia juga menjelaskan kenapa tak memasukkan saja norma yang dianggapnya bermasalah itu ke dalam petitum.
David mengatakan persyaratan pengajuan permohonan di MK terkait erat dengan legal standing atau kedudukan hukum pemohon. âKita hanya dapat mengajukan pasal keberatan sesuai dengan legal standing saja. Di luar legal standing, dianggap di luar relevansi,â ujarnya. Kedudukan hukum yang digunakan oleh Biem adalah sebagai warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tak bisa mencalonkan diri sebagai walikota di tanah kelahirannya melalui proses demokratis (pilkada).
Karenanya, bila persoalan pemilihan walikota secara langsung dan dibentuknya DPRD Kota di DKI Jakarta, David yakin pasal yang berkaitan dengan hal tersebut otomatis juga akan diputus tak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK.
Soal permintaan ultra petita tampaknya Biem harus berfikir ulang. Hakim Konstitusi Mahfud MD telah mengemukakan gagasannya terkait masalah itu di beberapa kesempatan. Mahfud menilai ultra petita haram dilakukan oleh hakim konstitusi. âUltra petita itu melanggar haknya legislatif,â ujarnya saat menjalani fit and proper test sebagai hakim konstitusi di DPR. Ultra petita merupakan salah satu dari sepuluh rambu yang pantang dilakukan oleh hakim konstitusi, versi Mahfud.
Bisa Langsung Efektif
Selain itu, David juga mengingatkan agar MK tak perlu ragu mengabulkan permohonan ini. Menurutnya, pilkada untuk walikota atau pembentukan DPRD Kota bisa dilakukan bila MK mengabulkan permohonan ini. Tanpa harus melempar ke DPR untuk memperbaiki UU DKI Jakarta. David menunjuk Pasal 2 UU DKI Jakarta.
Pasal itu menyatakan "Provinsi DKI Jakarta diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah, kecuali hal-hal yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang ini"
Jadi berbekal pasal ini, lanjut David, Provinsi DKI Jakarta bisa mengacu ke UU lain yang juga digunakan oleh daerah lain. âKPU tingkat kota bisa merujuk pada UU Pemilu maupun UU Penyelenggara Pemilu. Jadi otomatis bisa berjalan,â pungkasnya. (Ali)
Sumber www.hukumonline.com (15/05/08)
Foto Dok Humas MK