Permohonan pailit diajukan atas dasar belum dibayarkannya gaji para karyawan. Selain itu, para karyawan juga merasa berhak atas pesangon. Bakal mudah dibuktikan secara sederhana?
Ada pemandangan tak lazim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Siang itu, Rabu (14/5), beberapa orang penjaga keamanan dalam (kamdal) tampak berjaga di pagar pengadilan yang tertutup. Di luar pagar, puluhan manusia berkaos putih dengan corak oranye sedang berunjuk rasa. Mereka adalah karyawan Adam Air yang sedang menuntut haknya.
Para karyawan Adam Air tidak salah alamat. Tidak seperti buruh lain yang kerap menuntut haknya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), karyawan maskapai berlogo bidadari yang sedang terbang ini lebih memilih jalur lain, yaitu kepailitan.
Bagi Adam Air, ini bukan kali pertama mereka dimohonkan pailit. Sebelumnya, maskapai penerbangan yang berdiri pada 2002 ini lolos dari jerat pailit yang disengketakan mantan pilotnya sendiri. Saat itu majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan pailit dengan alasan pemohon tidak bisa membuktikan dalilnya secara sederhana.
Pengalaman yang menimpa Februantino -mantan pilot yang pernah mengajukan pailit- tampaknya tidak menyurutkan langkah para karyawan untuk menggugat hal yang sama. âKami sangat optimis dengan permohonan kami ini,â terang Nasrullah Nawawi, Divisi Hukum Forum Serikat Pekerja Adam Air (Forsikad) kepada hukumonline.
Nasrullah yang juga menjabat Manajer SDM dan Hukum PT Adam SkyConnection Airlines (ASA) ini mengaku punya landasan hukum yang sah untuk mengajukan pailit. âKami menuntut dua bulan gaji kami yang belum dibayarkan dan tidak jelas kapan dibayarkannya,â tuturnya.
Berkaca pada pembayaran bulan sebelumnya, Adam Air harus merogoh kocek hingga Rp10,3 milyar untuk membayar gaji karyawan. âJadi kalau dihitung, dua bulan gaji kami yang belum dibayar totalnya mencapai Rp20,6 milyar.â
Presiden Direktur ASA, Adam Aditya Suherman kepada hukumonline mengaku belum mengetahui permohonan pailit itu. âMenurut saya sah-sah saja kalau mereka mengajukan demikian karena gaji bulan April sampai sekarang belum dibayar,â katanya melalui pesan singkat, Rabu (14/5).
Lebih jauh Adam malah melemparkan tanggung jawab ke Gustiono Kustianto, Direktur Keuangan ASA. Menurutnya, tindakan Gustiono yang tak kunjung menandatangani cek pembayaran, menyebabkan gaji para karyawan tertunda. âSaya akan meminta pertanggungjawaban Gustiono dan Hary Tanoesodibjo yang menempatkan Gustiono di jajaran direksi yang akhirnya menyebabkan berhentinya operasi Adam Air,â jelasnya.
Sebaliknya, Gustiono malah balik melimpahkan kesalahan pada Adam Suherman. Ia berdalih, alasan tidak ditandatanganinya cek pembayaran gaji itu lantaran Adam Suherman belum menyerahkan daftar karyawan yang resmi. âJumlah karyawannya selalu berubah-ubah,â tandas Gustiono di ujung telepon.
Tidak hanya itu, sebagai salah satu direksi yang mewakili kepentingan Bhakti Investama -pemegang saham Adam Air lainnya- Gustiono mengaku tidak pernah dilibatkan untuk membahas rencana nasib karyawan.
Beberapa waktu lalu, Adam Air yang diwakili Adam Suherman mengadakan pertemuan dengan Forsikad. Pertemuan yang difasilitasi Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (PPHI Depnakertrans) Gandi Sugandhi itu menghasilkan beberapa skema PHK para karyawannya. âKami tidak pernah diberitahu dan tidak pernah diikutsertakan dalam pertemuan itu,â Gustiono mengungkapkan.
Saling lempar antara Adam Suherman dengan Gustiono itu tampaknya sudah diprediksi oleh Forsikad. âMakanya kami mengajukan pailit. Supaya jelas siapa yang paling bertanggung jawab. Kalau tidak, kami akan terus berada dalam ketidakpastian,â urai Hidayat Ardisubroto, Ketua Forsikad.
Buruh Sama Dengan Kreditur?
Sekedar mengingatkan, beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi tidak menerima permohonan judicial review Undang-Undang No 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Permohonan uji materi itu terkait dengan tuntutan supaya hak buruh tidak dikesampingkan oleh kreditur separatis dalam perkara kepailitan.
Pengamat sekaligus praktisi Hukum Kepailitan, Ricardo Simanjuntak urun pendapat. Menurutnya, sepanjang buruh memohon pailit atas dasar tidak dibayarnya upah, maka tidak ada alasan untuk menolak permohonan. âKarena upah yang belum dibayar itu sudah cukup menunjukan adanya unsur utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih,â jelasnya.
Persoalannya, ketika para pekerja juga memohon pailit atas dasar pesangon, maka mana yang harus didahulukan? Menurut Ricardo, pesangon memang baru bisa ditetapkan melalui putusan PHI terlebih dulu. Berdasarkan pengamatannya, hampir semua perkara yang permohonan pailit atas dasar pesangon, namun belum mengantongi putusan PHI, bakal ditolak hakim. Lagi-lagi alasan klasik. Salah satu syarat permohonan pailit adalah pembuktian sederhana yang diatur Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan. âKalau pesangonnya masih diperselisihkan, maka pembuktian sederhana tidak terpenuhi,â imbuh pendiri sekaligus advokat dari Kantor Hukum Ricardo Simanjuntak & Partners ini.
Yang jelas, apa yang dikatakan Ricardo bisa menjadi ganjalan buat perjuangan Forsikad di Pengadilan Niaga. Pasalnya, selain permohonan pailit, Forsikad saat ini tengah memperjuangkan pesangon sebesar Rp48 juta di PHI. âKami ajukan bersama-sama. PHInya jalan, Pailitnya juga jalan,â ujar Nasrullah sembari menyebutkan ada tujuh kreditur lain yang ikut mengajukan permohonan pailit maskapai .(IHW)
Sumber www.hukumonline.com (15/05/08)
Foto http://www.airlineroutemaps.com