Sekitar 70% perusahaan penerbitan pers belum tercatat di Depkumham. Meski demikian, setiap hasil karya jurnalistiknya merupakan produk pers.
Apa yang dipaparkan Anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi lumayan mencengangkan. Dari perusahaan penerbitan pers yang tercatat di Dewan Pers, mayoritas belum terdaftar sebagai badan hukum yang bergerak di bidang pers. Mengacu data Dewan Pers, 70% dari perusahaan penerbitan pers yang tercatat belum memenuhi standar minimum kelayakan perusahaan pers alias tidak layak bisnis. Sudah begitu, sebagian besar belum tercatat sebagai perusahaan pers di Departemen Hukum dan HAM. Mayoritas masih tercatat sebagai perusahaan di bidang umum.
âDewan pers sedang mengupayakan membuat standardisasi perusahaan pers sesuai ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU 40/2007),â ujar Wina usai memberikan keterangan dalam sidang perkara Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah melawan Tabloid Investigasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (13/5).
Salah satu dari 70% penerbitan pers itu antara lain Tabloid Investigasi yang berada di bawah naungan PT Noridha Lestari. Perseroan itu terdaftar di Dephukham sebagai perusahaan yang bergerak di bidang umum. Hal inilah yang dipersoalkan oleh Ismeth Abdullah. Gubernur Kepulauan Riau itu merasa dicemarkan oleh pemberitaan Tabloid Investigasi. Lantaran PT Noridha tak tercatat di Depkumham sebagai perusahaan Pers, pemberitaan tersebut dinilai bukan produk pers. Ismeth pun merasa telah terjadi penghinaan atas dirinya dari pemberitaan Tabloid Investigasi itu.
Dalil Kuasa Hukum Ismeth ditolak Wina. Dia mengatakan, sepanjang penyebarluasan informasi didapat dari hasil kerja jurnalistik, maka ia adalah produk pers. Ia juga menyoroti putusan pidana perkara yang sama. Berpegang pada 1372 KUHPerdata, ganti rugi atas sebuah penghinaan dan fitnah baru bisa dilaksanakan setelah mengacu pada putusan perbuatan pidananya.
Mengacu pada doktrin yang berkembang sejak 1989, lanjutnya, Mahkamah Agung dalam putusannya telah menganut privail ketentuan pers dibanding mengenakan KUHP. Ia mencontohkan kasus Garuda yang diputus pada 1993 yang menyatakan ketentuan pers harus didahulukan sebelum mengenakan ketentuan pidana pada umumnya.
Wina menuturkan, sesuai ketentuan UU PT, perseroan diberikan waktu setahun sejak UU diundangkan untuk berbenah mengikuti ketentuan baru. Karena salah satu tugas Dewan Pers adalah melakukan pendataan perusahaan pers, bebernya, âkami sedang mendata ulang dan meminta kualifikasi mereka harus memenuhi ketentuan UU PT jika perusahaan pers itu berbentuk perseroanâ.
Menurut Wina pula, masih ada dua pendapat berkembang mengenai hak menggugat pada perkara pers. Pendapat pertama, ujarnya, meyakini bahwa penggunaan hak jawab sudah menutup hak untuk menggugat secara perdata. Alasannya, dengan telah diakomodirnya hak jawab, maka sudah impas pula kerugian dari adanya pemberitaan yang melukai seseorang. Pendapat kedua sebaliknya, penggunaan hak jawab justru menjadi pintu masuk ditempuhnya upaya gugatan.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Ismeth Abdullah merasa dihina plus difitnah pemberitaan dalam Tabloid Investigasi edisi 11/Thn.1/ 17-30 Agustus 2006 yang berjudul âWarisan Korupsi Ismeth di Otorita Batamâ. Belakangan, mantan Ketua Otorita Batam itu melaporkan Pemimpin Redaksi Tabloid Investigasi Eddy Sumarsono ke Polisi. Dalam kasus pidananya di PN Jaksel, Majelis meloloskan Eddy dengan putusan bebas (vrijbaar).
Terlanjur ketaton oleh kelakuan Investigasi, Ismeth tetap melancarkan kesumatnya dengan menggugat ke PN Jaksel. Tak hanya meminta ganti rugi akibat sudah direpotkan selama ini, Ismeth juga minta dipulihkan nama baiknya yang ditaksir seharga Rp100 miliar.
Dalam sidang sebelumnya, Miftahul Huda, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia melihat bahwa apa yang dilakukan jajaran Direksi PT Noridha Lestari dengan melakukan ekspansi di dunia pers telah melampaui kewenangan maksud dan tujuan didirikannya perseroan (ultra vires). Miftahul dihadirkan oleh Kuasa Hukum Ismeth dalam sidang sebelumnya sebagai ahli seputar perseroan.
Dengan demikian, ujar Miftah, jika kerja direksi sudah melabrak maksud dan tujuan dasar didirikannya perseroan, seorang direktur harus bertanggungjawab. Bahkan, ujarnya, âBisa tanggung jawab secara tanggung renteng.â Maksudnya, meski perseroan menganut kekayaan terpisah dari perseorangan yang duduk sebagai direksi, ujarnya, âDalam hal melakukan ultra vires, maka ia bisa dituntut pertanggungjawaban pribadi bukan atas nama PT.â Namun demikian, Miftah mengaku belum menghubungkan hal itu dengan kasus tabloid Investigasi yang dianggap melakukan ultra vires dengan melakukan usaha pers. (NNC)
sumber www.hukumonline.com (14/5/2008)
Foto www.google.co.id