JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah dan DPR bersikukuh penghapusan syarat domisili dan non-partai politik dari Undang-Undang (UU) No 10 tahun 2008 tentang Pemilu (Legislatif) tidak bertentangan dengan konstitusi. Bahkan hal itu sangat sesuai dengan prinsip semua orang punya kedudukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Sementara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai DPR saat ini sudah "pintar". Dalam mengakali undang-undang, DPR tidak secara langsung berhadapan dengan konstitusi tetapi bermain kata-kata.
Hal itulah yang mengemuka dalam sidang lanjutan uji materiil UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa.
Perwakilan DPR, Pataniari Siahaan, yang juga anggota Komisi III DPR, dan Lukman Hakim Syaefuddin, menyinggung pula legal standing atau kedudukan hukum para pemohon.
Menurut Pataniari, permohonan yang diajukan oleh DPD secara kelembagaan tak relevan dikaitkan dengan legal standing yang mengacu pada Pasal 22 c ayat (1) dan Pasal 22 e ayat (4) UUD 1945.
"Yang dipersoalkan pemohon dalam UU Pemilu (Legislatif) adalah persyaratan untuk menjadi anggota DPD. Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu mengatur syarat keanggotaan DPD. Artinya, lembaga DPD (yang baru) belum terbentuk. Itu tak ada kaitannya," ujarnya.
Pataniari juga menyebutkan tidak adanya syarat domisili dan larangan orang partai politik untuk menjadi anggota DPD merupakan perwujudan asas kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan yang diatur oleh konstitusi. Pasal yang dimaksudnya adalah Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
"Setiap orang bisa mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Tak peduli, ia termasuk orang parpol atau bukan. Berada di domisili daerah yang akan diwakilinya atau tidak. Asal pencalonan itu atas nama diri sendiri, bukan atas nama parpol," tegasnya.
Selain itu, kata Pataniari, konstitusi tidak mengharuskan calon anggota DPD berdomisili di daerah yang akan diwakilinya. Karena konstitusi sendiri memberikan hak konstitusional sama kepada setiap orang sepanjang mencalonkan diri sebagai perseorangan.
Menanggapi pendapat Panatiari itu, penasihat hukum DPD Bambang Widjojanto mengatakan, pasal-pasal yang dimohonkan adalah permainan frase DPR, tapi substastinya tetap, parpol ingin menguasai DPD.
Bambang juga menilai penggunaan pasal hak asasi manusia oleh DPR terlalu umum. Menurut dia, DPR tidak bisa "nembak" ke Pasal 27 UUD 1945. Alasannya, yang dipersoalkan pemohon hanya kewenangan DPD. "Seharusnya DPR merujuk ke Pasal 22 c ayat (1) dan Pasal 22 e ayat (4)," kata Bambang.
Menurut Bambang, setiap orang bisa saja menggunakan pasal itu. Tetapi harus dilihat relevansinya. (Wilmar P)
sumber www.suarakarya-online.com (14/5/2008)
Foto Dok Humas MK