Pasal 22C UUD 1945 berbunyi anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu. Menurut John Pieris, frase âdipilih dari setiap provinsiâ menunjuk ke syarat domisili. DPR menganggap itu hanya tafsiran sepihak ahli dari DPD saja.
Setelah rehat sekitar satu setengah jam, sidang perkara uji materi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) dilanjutkan kembali. Usai mendengarkan keterangan DPR, giliran para ahli yang akan menyampaikan keterangannya dari berbagai bidang. DPD, selaku pemohon, mendatangkan tiga ahli dan satu saksi yang ikut terlibat dalam pembahasan UU Pemilu Legislatif. Tiga ahli itu adalah Pakar hukum tata negara (HTN) John Pieris, Pakar Ilmu Politik Arbi Sanit, dan Cecep Effendi. Sedangkan saksi adalah mantan Sekjen Depdagri Progo Nurdjaman.
Sesuai dengan keahliannya, John Pieris langsung berbicara mengenai masalah konstitusi. Maklum saja, pria yang berasal dari Maluku ini merupakan pengajar HTN di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Ia menilai penghilangan syarat domisili dan larangan pengurus parpol menjadi anggota DPD telah menabrak konstitusi. Ia mengungkapkan kedua item itu sebenarnya diatur dengan jelas oleh konstitusi, berdasarkan penafsirannya.
Bicara syarat domisili, John mengutip Pasal 22C ayat (1) UUD 1945. Ketentuan itu menyatakan "Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum". Ia menyoroti frase "dipilih dari setiap provinsi". Menurutnya, frase itu menunjuk kepada syarat domisili. âJadi setiap orang yang ingin menjadi anggota DPD, harus berdomisili dari provinsi yang akan diwakilinya,â tafsir John di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (13/5).
John pun mencoba bermain dengan kata-kata menggunakan sudut pandang etimologis. Menurutnya, definisi provinsi sangat dekat dengan pengertian ruang, asal, tempat tinggal, dan domisili. Penafsiran, lanjutnya, akan berubah bila kata "dari" diubah menjadi "di". âKalau frasenya berbunyi "dipilih di setiap provinsi", maka tak perlu berdomisili di daerah yang diwakilinya,â tegas John.
Anggota Komisi III DPR Lukman Hakim Saefuddin hanya tersenyum mendengar penafsiran yang dikemukakan oleh ahli ini. âItu kan hanya tafsir dari pemohon (ahli pemohon,-red) saja,â ujarnya. Ia menjelaskan makna frase itu sebenarnya sederhana. âMaknanya adalah setiap provinsi harus punya wakil di DPD. Tak ada provinsi yang tak terwakili,â tambahnya.
Non-Partisan?
Tak hanya bicara domisili, John juga berbicara mengenai sifat DPD yang non-partisan. Orang partai politik (parpol) dilarang berkiprah di DPD. UU Pemilu Legislatif memang tak mengatur hal itu. Lagi-lagi, sifat non-partisan itu diklaim John terdapat dalam konstitusi.
Ketentuan yang dikutip John adalah Pasal 22E ayat (4) yang berbunyi "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan". Ia membandingkan dengan Pasal 22E ayat (3) yang berisi "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik".
Menurutnya, pembagian itu sudah jelas. DPD untuk perseorangan, sedangkan DPR dan DPRD untuk orang parpol. Karenanya, ia sangat menyayangkan tak adanya larangan orang parpol berkiprah di DPD dalam UU Pemilu Legislatif. Padahal, dalam UU Pemilu Legislatif sebelumnya, UU No.12 Tahun 2003, larangan itu jelas terpampang.
Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan ikut angkat bicara. Ia menyindir keterangan DPR pada sesi sebelumnya. DPR mengatakan hilangnya syarat domisili dan larangan orang parpol berkiprah di DPD merupakan perwujudan persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. âKalau seperti itu, apa bisa perseorangan mencalonkan diri sebagai anggota DPR?â tanyanya.
Sedangkan, Hakim Konstitusi Mukhtie Fadjar menilai penggunaan kata non-partisan tak tepat. Ia mengingatkan bahwa larangan untuk berkiprah di DPD, pada UU Pemilu Legislatif yang lama, hanya untuk pengurus parpol saja. Anggota parpol tidak dilarang. âMungkin sampai saat ini, masih ada anggota DPD yang jadi anggota parpol,â ujarnya.
Kesaksian "Orang" Pemerintah
Uniknya, sidang hari ini juga mendengarkan keterangan mantan Sekjen Depdagri Progo Nurdjaman. Pria yang didatangkan oleh DPD ini bukanlah orang sembarangan. Ia pernah terlibat pada pembahasan UU No.12 Tahun 2003 (UU Pemilu Legislatif yang lama) dan UU No.10 Tahun 2008 (UU Pemilu Legislatif terbaru) sebagai wakil pemerintah.
Progo menceritakan sengitnya perdebatan ketika membahas UU No.12 Tahun 2003. Kala itu, pihak pemerintah harus meyakinkan DPR agar mencantumkan syarat domisili dan larangan bagi pengurus parpol. Akhirnya, ketentuan itu gol juga. Pasal 63 UU No. 12 Tahun 2003 mencantumkan persyaratan itu.
Sayangnya, keberhasilan Progo tak terulang pada pembahasan UU No. 10 Tahun 2008. Tiba-tiba, syarat yang memang sudah tercantum dalam draft RUU dari Pemerintah itu, tak ketahuan rimbanya. âPersyaratan itu bukan hilang. Tapi tak muncul lagi,â candanya.
Lukman seakan menyayangkan keterangan Progo ini. Menurutnya, UU yang telah terbit merupakan produk buatan DPR bersama dengan pemerintah. Kalau pemerintah tak setuju, hak veto bisa digunakan. UUD 1945 memang menyatakan UU merupakan hasil kesepakatan bersama antara DPR dan Pemerintah. âTapi kan akhir pembahasan pemerintah tak mempersoalkan itu. Memang Mendagri katanya akan menggunakan hak veto. Tapi kan ternyata dia tetap menyetujui,â pungkas Ketua Fraksi PPP ini. (Ali)
sumber www.hukumonline.com (14/5/2008)
Foto Dok Humas MK