Kewenangan penuh pemerintah untuk menaikkan harga BBM sesuai pasal 14 ayat 2 UU APBN-P 2008 masih bisa dikaji ulang. Pemerintah mendapat kekuatan hukum dari pasal itu untuk menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR.
Pasal itu berbunyi, "Dalam hal terjadi perubahan harga minyak yang sangat signifikan dibandingkan asumsi harga minyak yang ditetapkan, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah kebijakan yang diperlukan di bidang subsidi BBM dan/atau langkah-langkah lainnya untuk mengamankan pelaksanaan APBN 2008, yang selanjutnya diusulkan dalam APBN-P dan atau disampaikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)".
Bagian penjelasan pasal ini menambahkan, "Yang dimaksud dengan "perubahan yang signifikan" adalah apabila perkiraan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) dalam setahun di atas 100 dolar AS per barel". "Pasal 14 bisa saja dipenuhi atau bisa ditolak (DPR). Itu tergantung pembahasan di panitia anggaran (panggar) DPR," kata Ketua DPR, Agung Laksono, Senin (12/5), usai rapat paripurna.
Pemerintah, kata Agung, memang berwenang menaikkan harga BBM. Tapi, soal besaran kenaikan, pemerintah tak bisa lepas dari DPR. Sebab, DPR punya hak budget atau hak menentukan anggaran. "Besaran angka (anggaran energi atau menaikkan harga BBM) itu wewenang DPR," katanya. Penolakan DPR bisa melalui pembahasan APBN-P tahap kedua.
Wakil Ketua Panggar DPR, Suharso Monoarfa, mengakui pasal 14 ayat 2 itu bisa diubah. Syaratnya, DPR mengamandemen pasal dan UU APBN-P itu. Namun, ia nilai, itu justru menyulitkan negara. Anggota Komisi I, Abdillah Toha, menyatakan UU APBN-P 2008 bisa diubah sebagian dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau UU baru. (evy)
Sumber www.republika.co.id (13/05/08)
Foto http://www.serambinews.com