Karyawan tetap sebuah perusahan divisi legal tak boleh menjadi kuasa hukum untuk perusahaan yang beromzet di atas Rp2,4 miliar setahun. Gerah, para praktisi hukum pajak merasa terpasung.
Para konsultan pajak tengah jengah. Mereka tak lapang dada menerima beleid dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang baru saja kelar 6 Februari lalu. Ketentuan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22 Tahun 2008 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa. Kuasa yang dimaksud adalah kuasa hukum di bidang perpajakan.
PMK 22/2008 merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 80/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan. Kalau mau ditelusuri lebih jauh, induk beleid ini adalah Undang-Undang No. 28/2007, yang dikenal mengatur Ketentuan Umum Perpajakan. Aturan soal kuasa ini tentu menjadi penting kalau sudah masuk ke ranah peradilan pajak. Undang-Undang Pengadilan Pajak juga sudah menyinggung kuasa hukum perpajakan.
Di lapangan, yang sering disorot adalah aturan teknis, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan di atas. PMK 22 menyebutkan, seorang kuasa adalah seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak yang memberikan kuasa. Prinsip dasar yang dianut adalah penunjukan seorang kuasa bagi Wajib Pajak (WP) adalah hak.
Sebagian praktisi hukum perpajakan bergejolak menyambut ketentuan tersebut. Mereka menganggap PMK itu mereduksi peran kuasa hukum pajak yang berasal dari dunia akademika maupun karyawan internal perusahaan. Sebaliknya, ketentuan ini memberi porsi besar kepada kantor konsultan pajak alias kuasa hukum eksternal.
Begini ceritanya. Agar menjadi kuasa hukum, Anda dapat menempuh dua jalur pilihan. Pertama, lewat kuliah jurusan perpajakan di perguruan tinggi negeri atau swasta minimal Diploma 3 yang terakreditasi A. Atau kedua, via jalur sertifikasi dari Direktorat Jenderal Pajak -alias brevet. Jalur brevet ini sendiri ada dua cabang pilihan. Satu, sertifikasi konsultan pajak yang diselenggarakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI). Atau dua, brevet âotomatisâ bagi para pensiunan pegawai Ditjen Pajak.
Sayang, kuasa hukum asal jalur pertama -pendidikan jurusan perpajakan, menurut PMK ini, hanya boleh menjadi kuasa hukum bagi wajib pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan kotor setahun kurang dari Rp1,8 miliar. Atau, cuma bagi wajib pajak badan yang punya omzet tahunan di bawah Rp2,4 miliar.
âIjazah sekolah S2 saya di Belanda maupun Belgia tidak berlaku,â teriak Darussalam. Pria ini merupakan Direktur Utama PT Dimensi Internasional Tax, perusahaan penerbit majalah bulanan Inside Tax. Darussalam mengaku mulai PMK itu berlaku, dia tak bisa buka jasa menjadi kuasa hukum bagi wajib pajak. Soalnya, dia hanya mengantongi ijazah pendidikan formal. Sedangkan sertifikat dari Ditjen Pajak belum ada.
Kuasa hukum pajak juga terdiri dari dua golongan. Pertama, kantor konsultan pajak alias jasa eksternal. Jenis pertama ini layaknya jasa sebuah kantor akuntan publik. Kedua, karyawan sebuah perusahaan di bidang legal -alias kuasa dari internal perusahaan.
Nah, kuasa internal ini pun bernasib sama dengan kuasa hukum via ijazah formal pendidikan jurusan perpajakan. Mereka hanya boleh menangani klien wajib pajak badan yang beromzet di bawah Rp2,4 miliar setahun. Atau, wajib pajak perorangan yang berpenghasilan kurang dari Rp1,8 miliar.
Menurut Darussalam, PMK 22/2008 ini tiada lain dari praktek monopoli kuasa hukum pada konsultan pajak. Padahal, pada praktek terbaik lazimnya, âyang diutamakan dari lulusan jurusan pajak tapi tidak boleh monopoli. Yang lulusan non-pajak harus disertifikasi,â sambungnya. Menurut Darussalam, jika jasa konsultasi pajak menganut monopoli, akan menimbulkan biaya tinggi. Maklum, jamak konsultan yang memasang tarif mahal.
Kuasa hukum memang sebaiknya bukan ranah monopoli. Di pengadilan perburuhan, misalnya. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dapat menerima pengurus serikat pekerja sebagai kuasa hukum kaum buruh yang berperkara. Dengan catatan, pekerja yang dibela adalah anggota serikat karyawan tersebut. Walhasil, kuasa hukum bukan jatah para pengacara semata.
Salah kaprah
Pendiri sekaligus Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pajak Indonesia (LBHPI) Tubagus Eddy Mangkuprawira menegaskan PMK 22/2008 tak boleh mereduksi ruang lingkup kuasa hukum dari golongan tertentu. Soalnya, menurut Eddy, PP 80/2007 maupun UU 28/2007 tak membatasi gerak kuasa hukum jenis tertentu. âPrinsipnya, jangan ada ketentuan yang bertentangan dengan induknya,â ujar mantan hakim pengadilan pajak ini, ketika ditemui di kantornya, Gedung Dharmapala, kompleks Depkeu, Selasa (6/5).
Eddy memahami acapkali pasal dalam sebuah peraturan berbunyi âhal-hal yang belum diatur dalam ketentuan ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaâ. Namun, premis tersebut, bagi Eddy, bukan berarti peraturan pelaksana boleh menambah maupun mengurangi kewenangan pemerintah selaku pelaksana UU. âBanyak yang mengartikan PP itu adalah pasal keranjang sampah. Artinya pasal cadangan. Kalau belum diatur maka akan diatur PP. Itu salah besar. Yang boleh diatur PP itu adalah hal-hal yang belum cukup diatur,â timpalnya panjang lebar.
Karena itu, Eddy menyarankan PMK 22/2008 direvisi. Menurut Eddy, pembatasan omzet wajib pajak bagi kuasa hukum tertentu adalah hal yang tak perlu. Terpisah, konsultan pajak dari APS Consulting Hendra Wijana sepakat dengan Eddy. âKetentuan ini keliru dan harus direvisi,â ujar Hendra.
Hendra menganggap karyawan sebuah perusahaan wajib pajak badan juga punya hak yang setara dengan konsultan pajak. âAhli pajak yang jadi karyawan internal sebuah perusahaan harusnya tidak perlu dibatasi. Mereka direkrut oleh perusahaan, tentunya dianggap punya kualifikasi di bidang perpajakan,â ujarnya lewat sambungan telepon, Rabu (7/5).
Tertibkan registrasi
Hendra yang juga anggota IKPI ini justru menginginkan Ditjen Pajak menertibkan konsultan pajak eksternal. Hendra memandang, banyak konsultan pajak yang tidak mengantongi register. Anehnya, mereka justru memperoleh izin dari Ditjen Pajak guna memberikan layanan konsultasi. âBanyak dari mereka yang sudah tak beralamat jelas,â selorohnya.
Begitu gampangnya perolehan izin dari Ditjen Pajak bagi Hendra berdampak buruk. Menjamurnya praktek kantor konsultan pajak ini tidak ditopang oleh kualitas si konsultan. Akibatnya, âyang laku hanya kalangan tertentu,â ungkap Hendra.
Baik Darussalam, Hendra, maupun Eddy ujung-ujungnya sepakat. Untuk mengakhiri polemik PMK 22/2008 ini, âharus uji materi ke Mahkamah Agung,â seru mereka.
Hingga berita ini ditulis, pihak Depkeu maupun Ditjen Pajak belum memberikan keterangan. Direktur Penyuluhan dan Humas Ditjen Pajak Djoko Slamet Surjoputro tidak mengangkat hape ketika berkali-kali dihubungi. Demikian halnya Pak Dirjen, Darmin Nasution. (Ycb/Sut/CRD)
Sumber www.hukumonline.com (09/05/08)
Foto http://www.budidarmodjo.com