Dari kurang lebih 60 pertanyaan yang diajukan KAP-PBB, Delegasi Pemerintah RI dinilai gagal menjawab pertanyaan, khususnya mengenai peran kejaksaan yang terkesan tidak serius dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Sejak 28 April hingga 16 Mei 2008, Komite Anti Penyiksaan PBB (KAP-PBB) menggelar Sidang ke-14 di Palais Wilson, Jenewa, Austria. Kamis, 8 Mei 2008, Delegasi Pemerintah RI mendapat giliran untuk menanggapi sejumlah pertanyaan yang diajukan KAP-PBB pada hari sebelumnya. Daftar pertanyaan tersebut merupakan hasil lobi yang dilancarkan kalangan LSM dan Komnas HAM.
Saat lobi berlangsung, kalangan LSM dan Komnas HAM melaporkan kondisi penyiksaan di Indonesia dari kaca mata mereka masing-masing. Lobi yang dilakukan secara tertutup ini bertujuan agar Pemerintah dapat menyampaikan laporan apa adanya, tanpa perlu ada yang ditutup-tutupi. Masalahnya, selama ini pemerintah ditenggarai kerap kali cuek dan tidak tanggap terhadap keluhan-keluhan yang disuarakan kalangan LSM dan Komnas HAM.
Untuk itu, kesempatan emas ini benar-benar dimanfaatkan LSM dan Komnas HAM untuk mendesak pemerintah segera menyelesaikan kasus-kasus penyiksaan, khususnya yang masuk kategori pelanggaran HAM berat. Misalnya, kasus yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Abepura.
Secara khusus, LSM mengkritik sikap Kejaksaan Agung (Kejagung) yang melakukan upaya sistematis agar untuk kasus pelanggaran HAM berat tidak bisa diadili. Hal tersebut misalnya tergambar pada peristiwa pengembalian berkas dari Kejagung ke Komnas HAM. Sekedar mengingatkan, bulan lalu, Kejagung menganggap berkas penyelidikan Komnas HAM belum lengkap, sehingga diputuskan untuk dikembalikan.
Laporan lain yang tak kalah pentingnya adalah upaya sistematis dari para pihak yang diduga terkait sejumlah kasus pelanggaran HAM berat, untuk tidak mengikuti proses penyelidikan Komnas HAM. Mereka dari kalangan Purnawirawan TNI/Polri bersikap seolah-olah menghindar dari tanggung jawab dengan alasan tindakan yang mereka lakukan waktu itu atas dasar perintah negara. Sikap yang seperti ini, dianggap sangat menghambat penyelidikan Komnas HAM.
Dua masalah ini yang kemudian ditanyakan secara serius oleh pelapor (rapporteur) KAP-PBB asal Amerika Serikat Felice Gaer. Pertanyaan KAP-PBB tersebut, menurut LSM, menjadi barometer seberapa maju atau terpuruknya kondisi HAM di Indonesia.
HRWG sebagai salah satu LSM yang tergabung dalam Koalisi LSM Indonesia untuk Advokasi Internasional HAM menyerukan kepada pemerintah untuk merespon secara positif desakan KAP-PBB untuk melakukan perubahan prosedur dan mekanisme pencarian keadilan bagi pelanggaran HAM berat. Ini juga sebagai masukan bagi upaya pemerintah untuk memperbaiki institusi penegakan hukum, khususnya Kejagung. Setidaknya, ini dapat memperkuat peran dan wewenang Komnas HAM.
Namun, sangat disayangkan, harapan LSM dan Komnas HAM berbuah kekecewaaan. Pemerintah dalam sesi tanggapan kerap kali berdalih dan memberikan jawaban-jawaban yang normatif atas dua pertanyaan itu. HRWG yang diwakili Rafendi Djamin di Jenewa, bahkan mengklaim pemerintah telah gagal menjawab pertanyaan KAP-PBB.
Dalam rilisnya, HRGW bersama the Working Group on the Advocacy Against Torture (WGAT) sangat menyesalkan jawaban Delegasi Pemerintah RI yang hanya memuat informasi yang tidak relevan, tidak akurat tentang situasi pencegahan dan penindakan atas kejahatan penyiksaan. Sikap ini, menurut HRWG dan WGAT, mengancam kredibilitas pemerintah di depan KAP-PBB khususnya dan komunitas internasional umumnya.
Untuk itu, HRWG dan WGAT mendesak pemerintah untuk mengambil langkah imperatif dalam pencegahan dan penghukuman kejahatan penyiksaan. Salah satunya dengan menyusun kerangka legislatif yang mengkriminalkan tindak penyiksaan dalam hukum pidana sesuai dengan konvensi Internasional.
Koridor Hukum
Terpisah, Kapuspenkum Kejagung, BD Nainggolan, juga ikut ambil suara. Pernyataan KAP-PBB dan LSM di Jenewa yang menyatakan seolah-olah Kejaksaan tidak serius, dianggap salah besar. âBerarti mereka gak ngerti sistem hukum kita. Mekanisme dan dasar hukumnya memang seperti itu, Komnas HAM ranahnya penyelidikan dan Kejaksaan penyidikan dan penuntutan, itu sudah jelas,â katanya.
Lagipula, dua kasus pelanggaran HAM berat, Wamena dan Wasior yang terjadi setelah UU No. 26 Tahun 2000 tentang HAM terbentuk. Setelah dikembalikan, lanjutnya, berkas seharusnya diperbaiki Komnas HAM dengan memilah berkas kedua kasus tersebut yang dijadikan satu. âMasalahnya, masa dua kejadian dengan tempat dan waktu yang berbeda dijadikan dalam satu berkas. Yang benar saja,â tutur Kapuspenkum Kejagung ini.
Menurut Nainggolan, sebenarnya Kejagung bukannya tidak mau menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Kejaksaan hanya ingin tetap berada koridor hukum sehingga penegakkan hukum tidak melanggar hukum. âJadi, kuncinya memang ada di Komnas HAM, bagaimana cara mereka untuk memanggil para purnawirawan-purnawirawa itu,â imbuhnya.(CRR)
Sumber www.hukumonline.com (09/05/08)
Foto http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/kartun/oompasikom/hakasasi/1301kari.jpg