Jika menolak memeriksa, hakim dianggap tak mau menggunakan judicial activism yang diamanatkan oleh ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman.
Gugatan actio popularis atau citizen lawsuit (gugatan warga negara) bukan sesuatu yang haram buat diperiksa oleh hakim. Dasarnya adalah Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Wet ini memberi larangan Pengadilan menolak memeriksa perkara dengan dalih ketiadaan hukum yang mengaturnya.
Pasal dalam wet tersebut, ujar Hermawantoâsalah satu anggota Tim Advokasi Masyarakat Pengguna Jalan Tol (TAMPOL) dari LBH Jakarta, sengaja dibentuk oleh pembuat Undang-undang dengan maksud agar hakim membuat judicial activism alias berusaha menemukan hukumnya. Bahkan jika menengok Pasal 22 Algemene Bepalingen (A.B), ujar Hermawanto, âhakim yang menolak dengan alasan ketiadaan hukum bisa dituntut untuk dihukum dan diadiliâ.
Uraian Hermawan ini mengemuka dalam sidang perkara citizen lawsuit kebijakan kenaikan tarif Tol di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (8/5). Tampol berpendapat demikian untuk menanggapi respon pemerintah dan turut tergugat pada sidang sebelumnya yang menolak keberadaan gugatan actio popularis.
Sebelumnya, pemerintah dan turut tergugat mendalilkan, dua putusan hakim yang mengabulkan pemeriksaan gugatan warganegara belum berkekuatan hukum tetap sehingga tak bisa dijadikan acuan. Dua perkara itu antara lain gugatan warganegara terhadap Ujian Nasional dan gugatan warganegara atas nama buruh migran Nunukan.
Menanggapi hal itu, Hermawanto mengatakan bahwa banding yang dilayangkan pihak pemerintah dalam dua perkara itu tidak menyangkut pada penetapan hakim dalam penerimaan perkara citizen lawsuit, melainkan hanya banding dalam hal pokok perkara saja.
Seperti diketahui, dalam perkara gugatan lawsuit, penentuan bisa tidaknya perkara dilanjutkan diberikan melalui penetapan hakim yang berisi bisa tidaknya perkara itu lanjut periksa. âDua-duanya (perkara Nunukan dan UN, red) ditetapkan lanjut diperiksa dan diputus sampai pokok perkara,â ujar Hermawanto.
Menengok pendapat Prof Sudikno Mertokusumo yang digunakan sebagai senjata para tergugat untuk menangkis gugatan warganegara, Hermawanto berpendapat, Sudikno sendiri masih memperkenankan hakim melakukan terobosan hukum asalkan dengan persyaratan yang ketat dan pertimbangan kemanfaatan dalam masyarakat.
Meski dianggap lembaga acara asing dan belum lazim diterapkan di Indonesia, lanjut Hermawanto, citizen lawsuit merupakan suatu bentuk tindakan warganegara mencari perlindungan terhadap hak-hak publik mereka yang diabaikan. Bentuk pencarian perlindungan atas hak publik itu, dapat dilakukan termasuk dengan menentang peraturan pemerintah. Konsep Citizen Lawsuit, demikian Hermawanto, sebenarnya hanya untuk melindungi warganegara dari kemungkinan adanya kerugian akibat dari tindakan atau pembiaran nyang dilakukan oleh negara.
Setelah mendengarkan tanggapan baik dari Para Tergugat dan Turut tergugat, dilanjutkan dengan tanggapan balik dari Tampol, Majelis Hakim yang diketuai Artha Teresia sedianya akan mengetok palu pada sidang sepekan ke depan. Majelis akan menetapkan bisa dilanjut atau tidaknya gugatan citizen lawsuit ini.
Gugatan Tampol sebenarnya pernah nyangkut di PN Jakarta Pusat. Lantaran merasa dicuekin majelis, penggugat memindahkan gugatanke PN Jaksel. Dalam gugatannya, Tampol meminta kenaikan tarif Tol seperti diatur dalam SK Menteri Pekerjaan Umum 370/KPTS/M/2007, diimbangi dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan ToL. Ini mengacu pada amanat dalam UU No. 38/2004 tentang Jalan.
Selain itu, Tampol juga meminta perubahan sistem transaksi di ruas Tol lingkar luar Jakarta (JORR). Merujuk pada SK Menteri PU No. 365/2007, sistem transaksi di ruas-ruas lingkar luar diubah dari semula sistem tertutup ke sistem terbuka. perubahan sistem ini telah mengakibatkan kemacetan di ruas-ruas ToL sehingga mengganggu sistem mass rapid sistem pada angkutan darat.
Pihak yang digugat mulai dari Presiden dan Wakil Presiden RI, Menteri Pekerjaan Umum, Badan Pengaturan Jalan TolL (BPJT). Enam operator atau pengelola jalan Tol, di antaranya PT Jasa Marga, PT Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta, PT Citra Marga Nusaphala Persada, PT Marga Mandala Sakti, PT Bintaro Serpong Damai, PT Margabumi Matrajaya, dan PT Bosowa Marga Nusantara digeret sebagai turut tergugat. Tampol menilai mereka semua telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam penyelenggaraan jalan Tol.
Presiden dan Wapres dinilai lalai melaksanakan penyelenggaraan Negara yang menjamin kesejahteraan waga negara dalam mendapat pelayanan umum yang layak dalam bidang transportasi dan perhubungan darat. Menteri dinilai lalai memperhatikan hak konsumen jalan Tol untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan jasa yang mereka gunakan. Menurut Tampol. hak itu dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Penggugat juga mendalilkan, pelaksanaan ketentuan UU Jalan harus memperhatikan UU terkait, antara lain UU Perlindungan Konsumen.
BPJT digugat karena dinilai menyalahi ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Jalan Tol dan Peraturan Menteri PU No. 392/2005 untuk menyelenggarakan, mengatur dan mengawasi terpenuhinya SPM jalan tol. (NNC)
Sumber www.hukumonline.com (09/05/08)
Foto http://www.pu.go.id