SEMARANG, KAMIS - Konstruksi pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya tentang pemilu, masih menimbulkan potensi konflik khususnya pada tataran sanksi dan hukuman. Pagar hukum ini merupakan produk politik yang memungkinkan calon kepala daerah melanggar aturan dalam masa pra-pemilu.
Hal ini dikatakan oleh Ketua Divisi Hukum Pencalonan dan Kampanye Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Semarang Nurul Ahmad dalam Latihan Peningkatan Kemampuan Penyidikan Ti ndak Pidana Fungsi Reserse Kriminal (Reskrim) Jajaran Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Semarang di Gedung Polwiltabes, Kamis (8/5).
UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, khususnya pasal 115 dan 119 tentang pemilihan kepala daerah bukan merupakan prod uk hukum, tetapi produk politik. "Pasal-pasal tersebut telah didesain sedemikian rupa agar pelaku politik selaku calon kepala daerah atau tim sukses tidak terjerat hukum saat melanggar aturan pemilu, " kata Nurul.
Menurutnya, melalui pengalaman di berbagai pemilihan kepala daerah di berbagai kabupaten, kota, atau provinsi di seluruh daerah di Indonesia, banyak praktek politik suap yang tidak terungkap. Kecurangan yang terutama dilakukan dalam masa sebelum, sesudah, maupun selama kampanye kebanyakan tidak di tindak secara pidana.
Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polwiltabes Semarang Ajun Komisaris Besar Agus Rohmat, yang termasuk pelanggaran dalam pemilihan kepala daerah menurut pasal 115 dan 119 UU No. 32 Tahun 2004 antara lain penyuapan dan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU.
Setiap orang bisa menjadi subyek pidana dalam pelanggaran kampanye maupun pemilu, tidak hanya pasangan calon kepala daerah, kata Agus. Selama ini, pelanggaran justru rawan terjadi di luar masa kampanye, seperti mendahului berkampanye sebelum waktu yang ditetapkan, masih berkampanye saat masa tenang menjelang pemilihan, dan menyuap sejumlah pihak di luar maupun selama masa kampanye.
Menurut pembicara lain, Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Semarang Abdul Kholiq, ada tiga pelanggaran yang menuntut kerjasama KPU, Panwaslu, dan kepolisian, yaitu pelanggaran administratif, pidana, dan sengketa. Pelanggaran administratif adalah saat pasangan calon melanggar tata cara penyelenggaraan pemilu. "Eksekutor yang berhak menindak adalah Komisi Pemilihan Umum, " kata Kholiq.
Pelanggaran pidana adalah hasil bedah kasus pelanggaran yang dilakukan pasangan calon atau tim sukses yang dilimpahkan ke penyidik resmi, kepolisian. Dalam hal ini, Panwaslu tidak berhak menindak dan menyidik. Panwaslu berhak untuk bertindak saat ada sengketa, misalnya perebutan tempat kampanye antara dua atau lebih pasangan calon.(A08)
Sumber www.kompas.com (08/05/08)
Foto http://www.kpu-jateng.go.id