JAKARTA, JUMAT - Pemerintah diminta mencabut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi yang dianggap rancu, sehingga menyebabkan investasi migas di Indonesia tidak berkembang."Kalau mau liberalisasi perdagangan migas ya harus ditegaskan bahwa ini liberalisasi. Begitu pula kalau memang masih monopoli. Oleh karena itu, iklim investasi di migas tidak maju-maju," ujar Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Ikhsan Modjo, setelah mengisi sebuah diskusi di Ruang Presentasi Gedung DPD RI, Jumat (9/5).
Menurut Ikhsan, jika pemerintah akhirnya memutuskan untuk menetapkan sistem liberalisasi untuk perdagangan migas, maka infrastruktur penunjang kebijakan tersebut harus segera diadakan. Jika tidak, investor tetap enggan untuk berinvestasi.
Hanya saja jika pemerintah tetap mempertahankan UU tersebut, kata dia, amandemennya harus segera dibuat, seperti apa yang telah diputuskan Makamah Konstitusi beberapa waktu lalu.Selain itu, diperlukan penyederhanaan mekanisme berinvestasi dalam UU tersebut. Sebab selama ini, UU ini mempersulit investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Untuk mengurusi perizinan berinvestasi, lanjutnya, diperlukan waktu setidaknya enam bulan karena banyaknya "pintu" yang harus dilalui. "Namun memang diperlukan studi yang lebih cermat agar kejadian seperti Lapindo tidak terulang. Tapi kalau ditanya lebih baik liberalisasi atau monopoli? Itulah yang susah. Liberalisasi memang bagus, karena ada kompetisi dan efisiensi. Tapi sekali lagi, liberalisasi ini perlu diiringi dengan infrastruktur," jelasnya.(BOB)
Sumber www.kompas.com (09/05/08)
Foto http://www.fotografer.net/images/artikel/upload/2platform.jpg