INILAH.COM, Jakarta â Tidak semua orang mampu berkaca dan mengambil hikmah dari pengalaman yang pernah dilalui. Gambaran itu kembali mencuat seiring rencana pemerintah menaikkan harga BBM per Juni 2008 sebagaimana dinyatakan Presiden SBY.
Boleh jadi bukan kenaikan harga BBM itu sendiri yang perlu dipersoalkan. Kendati sebagian pengamat menegasi kebijakan menaikkan harga BBM yang disebut pemerintah sebagai alternatif terakhir, bayang-bayang defisit APBN-P 2008 jika subsidi terus naik sudah terlalu suram untuk dipikirkan.
Momok defisit APBN itu pula yang membuat kenaikan harga BBM kemudian menjadi begitu rasional dan relatif bisa diterima banyak kalangan.
Persoalannya, mengapa harus meramaikannya hari ini jika kenaikannya sendiri baru terjadi tiga pekan mendatang?
Dilihat dari sisi untung rugi, cost and benefit, meramaikan diskursus kenaikan harga minyak di hari-hari sebelum hari H kenaikan justru hanya mematangkan potensi chaotic. Sebab, alih-alih membuat masyarakat mempersiapkan diri menghadapi hari kenaikan harga BBM yang telah pasti itu, yang timbul malah kekhawatiran massal.
Lihat saja apa yang terjadi di Semarang, Rabu (7/5). Dipicu berita berbagai media massa bahwa harga BBM akan naik, beberapa stasiun pengisian BBM diserbu pembeli hingga cadangan BBM mereka tandas tak tersisa.
Sebagian masyarakat yang menyerbu ternyata hanya tahu berdasarkan cerita dari mulut ke mulut bahwa harga BBM akan naik. Tanpa pernah membaca koran, mereka hanya mendengar kepastian rencana kenaikan itu dan langsung menyerbu pompa bensin.
Dampak susulannya, sejak hari ini sebagian pedagang, tukang ojek, beberapa supir angkutan umum mulai coba-coba menaikkan harga.
Alhasil, meramaikan diskursus kenaikan harga BBM jauh sebelum hari H tak ubahnya menyilakan rakyat memikul dua kali kenaikan harga. Pertama, kenaikan harga secara psikologis karena kekhawatiran massal di masyarakat.
Sehari setelah Presiden SBY memastikan harga BBM naik, Senin (5/5), sudah ada pihak yang mulai menaikkan harga. Sebagian lagi mulai coba menimbun barang untuk dijual saat harga BBM resmi naik.
Kenaikan tahap kedua terjadi kala pemerintah resmi memberlakukan kenaikan harga BBM. Sesuai hukum pasar, rakyat sebagai konsumen tak berdaya menghadapi lonjakan harga berbagai komoditas.
Dalam konteks inilah publik patut menyayangkan kebijakan pemerintah untuk berasyik masyuk dalam wacana kenaikan harga BBM. Dengan alasan yang sama, publik bisa memahami dan memuji langkah pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto dalam kebijakan kenaikan harga BBM.
Lepas dari hegemoni dan mencengkeramnya pemerintahan kala itu, keputusan mengumumkan kenaikan harga BBM di malam hari, hanya beberapa jam sebelum jam berlakunya keputusan, patut diberi apresiasi. Meski panik, kepanikan masyarakat hanya berlangsung beberapa jam karena besoknya semua seolah kembali seperti biasa. Business as usual.
Publik juga patut menyayangkan sikap pemerintah yang begitu percaya akan keampuhan pranata Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi golongan tak mampu. Pemerintah memprogramkan BLT Rp 100 ribu per bulan kepada 19,1 juta keluarga selama tujuh bulan sejak berlakunya kenaikan harga BBM.
Persoalannya, pemerintah seolah menutup mata betapa kebijakan karitatif seperti itu ternyata tidak efektif. Kebijakan itu malah hanya jadi ladang korupsi baru di berbagai tingkatan birokrasi.
Di tingkat paling bawah, satu keluarga miskin akan suka rela membiarkan haknya dipotong oknum aparat desa dibandingkan mereka tidak masuk daftar penerima BLT. Nepotisme dan kolusi pekat mewarnai penyusunan daftar itu.
Sebenarnya, lebih terpuji jika pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat tak berpunya itu dengan cara lebih bermartabat. Misalnya, merekrut mereka pada kerja-kerja padat karya selama beberapa lama hingga hak itu tertunaikan.
Selain merangsang munculnya efek berantai (multiplier effect) secara ekonomi, pemberian kerja juga akan merangsang penerimanya memiliki martabat dan cinta kerja.
Hal yang mustahil tumbuh jika pemerintah lebih menyukai cara-cara pemberian semata atas belas kasihan. Sayangnya, kembali Presiden SBY yang memilih cara itu lewat sidang kabinet terbatas.
Betapa susahnya, memang, bercermin dari masa lalu dan mengambil hikmah dari pengalaman yang pernah dilalui. [P1/I3]
Sumber www.jurnalnasional.com
Foto www.google.co.id