PERSETERUAN antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Mahkamah Agung (MA) mengenai biaya perkara dapat diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Caranya salah satu lembaga tersebut mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN).
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febridiansyah, sikap MA menolak BPK bertentangan dengan konstitusi. Karena kewenangan BPK dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 23E. Tak hanya itu, pada UU No. 17 tahun 2003 di Pasal 2 huruf h, disebutkan keuangan negara meliputi kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan kepentingan umum.
"Di mana pemerintah yang dimaksud bukan hanya meliputi eksekutif atau legislatif saja, tapi juga termasuk di dalamnya yudikatif. Dan biaya perkara masuk dalam definisi kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah, sebagaimana MA adalah pemerintah tidak dalam arti sempit," ujar Febridiansyah pada diskusi yang digelar ICW di gedung LBH Jakarta, kemarin (7/5).
Tujuan BPK mengaudit MA tak lain untuk membangun penyelenggaraan keuangan negara yang transparan serta akuntabel sesuai asas-asas pengelolaan keuangan negara. Dengan mengetahui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penggantian biaya riil perkara, maka dapat dipastikan apakah uang masyarakat tidak diselewengkan MA.
"Karena pihak pengadilan berkewajiban menyelenggarakan proses penyelesaian perkara setelah membayar biaya perkara. Dan konsekuensi dari kewajiban itu adalah negara mempunyai hak untuk menerima penggantian biaya yang dikeluarkan dari proses tersebut, yakni alokasi PNBP," ujar Febridiansyah.
Menurut peneliti ICW ini, jumlah biaya perkara di MA pada 2005-2008 diperkirakan mencapai Rp 31,1 miliar. " Pada realitanya, kami tanyakan ke beberapa pengacara, banyak yang tidak meminta sisa biaya perkara mereka," paparnya.
Pendapat MA yang menegaskan biaya perkara diatur dalam HIR tidak sesuai dan melawan konstitusi. Karena berdasarkan aturan peralihan UUD 1945, selama tidak bertentangan dengan konstitusi, maka undang-undang yang baru tetap berlaku.
Hingga kini, MA masih bersikukuh tidak mau diaudit sebelum ada Peraturan Pemerintah (PP). "PP bukanlah solusi karena hanya akan mengaudit setelah peraturan itu dibuat. Dan PP hanya akan mengatur kategori PNBP, tidak berbicara pada tataran kewenangan BPK yang diatur di tingkat undang-undang," kata Febridiansyah.
Dia menilai, PP akan berpotensi untuk mereduksi kewenangan BPK yang dijamin konstitusi dan melegalisasi dugaan penyelewengan biaya perkara sebelum PP diterbitkan. "Itulah mengapa kami menawarkan SKLN (Sengketa Kewenangan Lembaga Negara) dan judicial review berlapis kepada BPK," tandasnya.
Obyek Sengketa
Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, BPK maupun MA memiliki kapasitas hukum atau legal standing untuk menjadi pihak yang bersengketa. Ketika ditanya tentang ketentuan Pasal 65 UU No.24 Tahun 2003 yang menegaskan MA tidak dapat menjadi pihak yang berperkara, Refly mengatakan, "Pasal 2 ayat (3) peraturan MK No. 08 tahun 2006, MA tidak dapat menjadi pihak apabila dalam sengketa kewenangan teknis peradilan atau yustisial dan karena obyek yang diperkarakan mengenai pemeriksaan uang negara, maka MA dapat menjadi subyek SKLN," ujar mantan Staf Ahli MK ini.
Menurut Refly, dalam Pasal 2 UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ada dua poin penafsiran isi konstitusi yang memasukkan biaya perkara sebagai keuangan negara. Pertama, kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga. Kedua, kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan atau kepentingan umum.
"Ini dapat masuk ke dalam mandat BPK memeriksa keuangan negara," ujarnya. (Siagian Priska Cesillia)
Sumber www.jurnalnasional.com
Foto www.google.co.id