JAKARTA - Beberapa pasal dalam KUHP yang sering dijadikan dasar untuk memidanakan praktisi jurnalistik diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji materi (judicial review). Yang mengajukan adalah dua orang yang telah divonis terkait karya jurnalistiknya. Mereka adalah mantan General Manager Radar Jogja (Grup Jawa Pos) Risang Bima Wijaya dan kolumnis Bersihar Lubis.
Pasal dalam KUHP yang diajukan adalah pasal 310, 311, 316, dan 207 tentang fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik dengan lisan atau tulisan. Para pemohon berpendapat, pemberlakuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi (UUD), terutama pasal 28 E ayat (2) dan (3) serta pasal 28 F, yakni berkaitan dengan jaminan menyampaikan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers.
"Tujuannya agar masyarakat Indonesia, khususnya wartawan, tidak dengan mudah dipidana karena melakukan hak dan kewenangan yang dijamin konstitusi," kata Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana usai mendaftarkan permohonan judicial review di gedung MK kemarin (7/5).
Hendra yang menjadi kuasa hukum pemohon meminta, MK menyatakan pasal-pasal dalam KUHP tersebut bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ancaman pidana penjara terhadap wartawan, lanjut dia, telah menyebabkan timbulnya ketakutan pada wartawan dalam melahirkan karyanya. "Tidak sepantasnya orang menyampaikan pendapat diancam pidana," terang Hendra.
Kolumnis Bersihar Lubis yang ikut hadir mendaftarkan permohonan uji materi tersebut mengatakan, dia tidak ingin ada pasal karet yang diberlakukan kepada wartawan. "Saya khawatir akan tergelincir. Dari kritik ditarik-tarik menjadi penghinaan," katanya.
Bersihar optimistis MK bakal mengabulkan permohonannya. Itu mengacu pada putusan MK yang membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden beberapa waktu lalu.
Bersihar divonis satu bulan dengan masa percobaan tiga bulan oleh Pengadilan Negeri Depok. Dia diperkarakan oleh Kejaksaan Agung atas tulisannya berjudul Kisah Interogator yang Dungu yang dimuat Koran Tempo pada edisi 17 Maret 2007. Pada tulisan opini tersebut, Bersihar mengkritisi langkah kejaksaan menarik sekaligus melarang buku sejarah SMP dan SMU yang tidak menuliskan singkatan PKI pada G 30 S. Sementara Risang divonis enam bulan karena menulis dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Sumadi M. Wonohito, Dirut Kedaulatan Rakyat.
Selain keduanya, beberapa wartawan lain pernah dijerat karena pendapatnya. Di antaranya Dahri Uhum Nasution (pemimpin redaksi Tabloid Oposisi di Medan), Eddy Soemarsono (pemimpin redaksi Tabloid Investigasi di Jakarta), dan Karim Paputungan (pemimpin redaksi harian Rakyat Merdeka di Jakarta). (fal/kum)
Sumber www.jawapos.com
Foto www.google.co.id