INILAH.COM, Jakarta - RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara atau wajib militer (wamil) atau bela negara dinilai bertentangan dengan HAM.
"Rencana pemerintah memprioritaskan RUU itu pada saat ini merupakan langkah yang tidak tepat dan keliru," kata Koordinator HAM Imparsial, Bhatara Ibnu Reza, di Kantor Imparsial, Jakarta, Selasa (6/5).
Bertentangannya RUU itu dengan HAM, jelas dia, karena adanya kata "wajib" yang berarti dilarang menolak wamil dan jika menolak akan ada hukuman.
"Padahal setiap warga negara berhak menolak. Misalnya sebagai orang beragama dapat menolak dengan alasan tidak mau menyakiti orang lain, dan orang yang berpolitik dapat juga menolak dengan alasan cinta damai," ujar Bharata.
Selain itu, lanjut dia, RUU tersebut bertentangan dengan UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara mengenai komponen cadangan pertahanan negara, yang memandatkan komponen cadangan pertahanan hanya digunakan untuk menghadapi ancaman militer dari luar seperti perang.
"Tapi dalam RUU itu, komponen cadangan pertahanan juga digunakan dalam konflik di dalam negeri. Jadi seandainya ada perang dengan GAM di Aceh, yang turun adalah para wamil. Sedangkan para tentara duduk-duduk saja di belakangnya," cetus Bharata.
Untuk itu, sambung dia, sebaiknya pemerintah tidak membahas RUU tersebut pada saat ini. Karena sikap terburu-buru tersebut memberi kesan negara sedang mendapatkan ancaman besar atau keadaan darurat.
"Pemerintah juga sebaiknya kembali ke arah yang benar, dengan menyelesaikan agenda-agenda yang kiranya penting, seperti membentuk UU keamanan nasional, baru kemudian memikirkan membentuk RUU Wamil," pungkas Bharata.[ABDULLAH MUBAROK]
Sumber www.inilah.com
Foto www.google.co.id