TEMPO Interaktif, Jakarta: Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terhadap Undang-undang Pemerintahan Daerah. Mahkamah menyatakan, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 itu tidak bertentangan dengan konstitusi. âDalil-dalil yang dikemukakan pemohon tidaklah beralasan sehingga harus dinyatakan ditolak,â kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (6/5).
Permohonan hak uji materi Undang-Undang Pemerintahan Daerah diajukan Said Saggaf, sebagai pemohon. Dia mempersoalkan pasal 58 huruf O yang dianggapnya tidak mengatur secara jelas soal syarat menjadi kepala daerah. Pasal itu, menurut dia, tidak memerinci maksud kalimat âdua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.â Menurut Said, hal tersebut bertentangan dengan pasal 27 Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi yang menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum.
Permohonan itu juga terkait upaya pencalonan diri Said sebagai Bupati Mamasa periode 2008-2013. Ia tak diloloskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) lantaran pernah menjabat sebagai Bupati Bantaeng pada 1993-1998 dan Bupati Mamasa periode 2003-2008. Surat KPU mengacu pada pasal 58 tersebut.
Hakim konstitusi, H.A.S Natabaya, dalam pertimbangannya mengatakan bahwa pasal 58 huruf O Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah ditegaskan dalam pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah. âPenjelasannya lebih menekankan pada frasa belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, baik di daerah yang sama atau di daerah lain,â kata Natabaya dalam uraiannya.
Adapun permohonan Said yang menyatakan pasal 58 telah menimbulkan perlakuan diskriminatif, Natabaya merujuk pada pengertian diskriminatif. Menurut dia, pembatasan dalam pasal 58 dapat dilakukan sepanjang hal itu ditetapkan dengan undang-undang dan berlaku terhadap semua orang tanpa pembedaan. âSehingga tidak dapat dipandang sebagai diskriminatif,â ujarnya. Jika pemohon merasa dirugikan dengan surat adanya KPU, lanjut Natabaya, forum penyelesaiannya seharusnya di Mahkamah Agung.
Kuasa hukum Said, Jamaluddin Rustam, mengatakan tidak akan menempuh upaya hukum ke Mahkamah Agung. Menurut dia, surat KPU berdasarkan pada pasal 58. Sehingga yang dipersoalkan adalah undang-undang, bukan pelaksanaan. Jamaluddin menyatakan belum memutuskan upaya hukum lanjutan pascapenolakan uji materi tersebut. âPikir-pikir dululah,â ujarnya.(Desy Pakpahan)
Sumber www.tempointeraktif.com (06/05/08)
Foto Dok Humas MK