Proses pembentukan undang-undang berhenti ketika proses pengundangan di Lembaran Negara dilakukan.
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008 (UU APBNP) baru dua puluh enam hari diketok mendapat persetujuan bersama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). UU itu pun belum diberi nomor dan ditandatangani oleh presiden. Tetapi, semua itu tak menyurutkan langkah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) untuk kembali mengajukan judicial review UU APBN-P.
Kuasa hukum PGRI, Andi M Asrun mendaftarkan permohonan judicial review itu hari ini, Senin (5/5). Andi merasa yakin permohonan pengujian terhadap UU yang belum diberi nomor ini merupakan pertama kali. Mantan Staf Ahli MK ini menilai UU yang sudah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah sudah dapat dinyatakan secara hukum. âUU ini sudah sah,â ujarnya kepada hukumonline melalui gagang telepon.
Andi mengatakan perkara yang diajukannya ini diterima langsung oleh Kepala Biro Administrasi Perkara dan Persidangan Kasianur Sidauruk. âDia bilang akan menyampaikan ini ke Ketua MK (Jimly Asshiddiqie,-red),â ujar Andi.
Meski baru pertama kali didaftarkan, perdebatan mengenai boleh tidaknya suatu perkara pengujian UU yang belum diberi nomor memang sudah pernah terjadi. Konteksnya, kala itu, adalah permohonan pengujian UU Pemilu Legislatif. Jimly Asshiddiqie mempersilahkan para pihak yang berencana mengajukan uji materi UU Pemilu, meski UU itu belum diberi nomor. Alasannya sederhana saja, agar putusannya cepat sehingga tak mengganggu jadwal persiapan penyelenggaraan pemilu. Apalagi, melalui media massa, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan delapan parpol gurem sudah mencanangkan akan mengajukan permohonan.
Akhirnya, muncul perdebatan di kalangan ahli tata negara. Jimly beralasan sebuah UU yang sudah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah bisa dinyatakan sah secara materil. Secara materil tidak bisa berubah lagi. Sedangkan nomor dan tanda tangan presiden, menurut Guru Besar HTN Universitas Indonesia ini merupakan formalitas belaka. Tanda tangan presiden tidak bersifat mutlak. âSekiranya Presiden tak mengesahkan RUU itu dalam jangka waktu 30 hari, maka RUU itu sudah otomatis berlaku dan wajib diundangkan,â jelas Jimly mengutip Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.
Pengajar ilmu perundang-undangan dari Fakultas Hukum UI Sonny Maulana Sikumbang berbeda pendapat. âHukum bukan masalah materil saja, tapi juga secara formil. Selain masalah isi, ada juga masalah prosedur,â tegasnya beberapa waktu lalu.
Menurut Sonny, RUU yang baru mendapat kesepakatan bersama antara DPR dan Presiden belum resmi menjadi UU. âMenurut UU 10 Tahun 2004, proses pembentukan UU selesai pada saat UU itu diundangkan,â ujarnya. Ia juga menjelaskan makna Pasal 20 ayat (5) UUD"45. âItu harus ada tindakan. Artinya, harus ada pernyataan stempel RUU itu sah menjadi UU tanpa tandatangan Presidenâ tambahnya. Sonny menilai bila argumen Jimly diterima maka yang terjadi bukan pengujian UU tetapi pengujian RUU. âYang bisa diuji MK kan UU. Apa artinya UU? ya RUU yang sudah diundangkan,â tegasnya.
PGRI telah menjatuhkan pilihan. Andi M Asrun, kuasa hukumnya, lebih memilih argumentasi hukum Jimly sebagai senjatanya untuk mempercepat permohonan. Ia pun mengungkapkan keburukan pemerintah yang sering menyembunyikan nomor UU. Contohnya adalah UU APBN 2008. Ia mengaku harus menghabiskan waktu empat bulan untuk mendapatkan informasi bahwa UU APBN 2008 itu mempunyai nomor 45. Lengkapnya, UU No.45 Tahun 2007 tentang APBN 2008. UU ini pun sempat disidangkan oleh MK. Namun, perkara itu terpaksa dicabut karena lahirnya UU APBN-P. Objek perkara berubah.
Uji Materil dan Formil Sekaligus
Uniknya, meski UU APBN-P ini belum disahkan secara formil, Andi mengatakan akan mengajukan uji formil dan uji materil sekaligus. Pada dasarnya, permohonan ini masih mempersoalkan anggaran pendidikan yang belum mencapai angka 20% dari APBN berdasarkan amanat konstitusi. Dalam, UU APBN-P, anggaran pendidikan diperkirakan sekitar 15%. Padahal, gaji guru sudah dimasukan ke dalam anggaran pendidikan sesuai Putusan MK tentang UU Sisdiknas.
Secara formil, Andi mengungkapkan cacatnya UU ini. Menurutnya, tak dicantumkannya Putusan MK tentang UU Sisdiknas ke dalam konsideran membuat UU ini bermasalah dari sudut formalitasnya. Memang, UU APBN-P mencantumkan putusan MK tersebut, tapi hanya ditaruh dalam penjelasan.
Sedangkan dari sudut materil atau substansi. Andi menilai angka 15% dari APBN untuk anggaran pendidikan. Lebih parah lagi, angka 15% juga seakan tak pasti. âDi bagian penjelasan APBN-P, disebutkan anggaran pendidikan diperkirakan 15% sudah termasuk gaji guru,â ujarnya. Andi mempersoalkan kata "diperkirakan" yang mengandung unsur ketidakpastian.
Karenanya, berdasarkan argumentasi tersebut, Andi meminta agar MK membatalkan keseluruhan UU APBN-P. âPersoalannya, kalau tak dibatalkan secara keseluruhan, tak akan bergeser anggaran pendidikan itu. Mana mau departemen lain mengorbankan anggarannya,â pungkasnya. (Ali)
Sumber www.hukumonline.com
Foto www.google.com