Depkominfo dinilai sejumlah LSM berusaha mengembalikan kekuasaannya seperti dimiliki Deppen dulu lewat berbagai UU yang telah disiapkan. Yang teranyar tentu saja UU ITE.
âKewenangan itu bukan lagi political decision tapi by the law,â tandas Anggara, dari Komunitas Blogger Benteng Cisadane (KBBC). Pernyataan Anggara itu disampaikan pada diskusi yang diselenggarakan PBHI di Jakarta, Selasa (29/4) pekan lalu.
KBBC adalah salah satu anggota Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia (Aliansi). Selain KBBC tercatat juga 6 LSM lainnya, yakni Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), PBHI, LBH Pers, Elsam, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Centre for Democratic and Transperency (CDT).
Anggara mengatakan, Depkominfo mencoba mengontrol kembali kebebasan-kebebasan dasar yang telah mendapatkan jaminan konstitusional di Indonesia. Upaya mengontrol itu sebagian telah dilakukan Depkominfo dengan terbitnya 4 Peraturan Pemerintah (PP) Penyiaran yang memangkas kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), kewajiban registrasi nomor telepon seluler pra bayar, UU ITE dan terakhir terbitnya UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Khusus UU ITE, Anggara melihat tidak adanya pengakuan terhadap penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM dan mengabaikan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Padahal, UU tersebut mewajibkan agar setiap materi muatan peraturan perundang-undangan mencerminkan perlindungan dan penghormatan HAM.
Pemerintah Indonesia selain telah menjamin HAM dalam Perubahan II UUD 1945, pemerintah juga telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dalam UU No. 12/2005, yang tentunya membawa kewajiban internasional untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia.
UU ITE ini, lanjut Anggara juga tidak mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No. 10/2004. UU ini telah jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik. UU ITE malah melangkah jauh dengan mencampuri hak-hak sipil yang merupakan bagian dari kebebasan dasar yang harus dapat dinikmati oleh setiap orang yaitu kemerdekaan berpendapat.
Dalam konsideran "Mengingat", UU ITE sama sekali tidak mencantumkan ketentuan apa pun tentang HAM. Kententuannya sangat singkat sekali, hanya Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945. âKita menilai UU ITE ini benar-benar abai. UU ini telah menunjukkan watak aslinya yang mengabaikan HAM,â tandasnya.
Aliansi mencatat setidaknya ada 7 ketentuan dalam UU ITE yang berpotensi menjadi ancaman bagi kebebasan dasar. Ketentuan itu diatur dalam pasal-pasal antara lain Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 40 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2).
âUU ITE juga memberikan cek kosong dalam bentuk Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan implementasi dari Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 40 ayat (2),â tutur Anggara.
Pasal 31 ayat (3)
Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undangâundang.
Pasal 40 ayat (2)
Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangâundangan.
Koordinator Advokasi HAM PBHI Esti Nuringdyah melihat bahwa UU ITE ini juga telah mengesahkan perluasan kembali kewenangan Depkominfo yang sangat ditolak oleh kalangan media. Aparat Depkominfo akan menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), di samping penyidik Polri, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. âDalam pandangan Aliansi ini adalah upaya sistematis dari Depkominfo untuk mengembalian kejayaan pada saat Depkominfo masih bernama Departemen Penerangan,â ujarnya.
Ditemui terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Muhammad Nuh membantah semua analisa yang disampaikan Aliansi. âJelas itu tidak benar,â tandasnya kepada hukumonline di Kantor Depkominfo, Rabu (30/4) pekan lalu.
Nuh juga mempersilahkan kepada semua pihak, termasuk beberapa LSM yang tergabung dalam Aliansi untuk menyampaikan keberatannya melalui mekanisme yang sudah ada, yakni Mahkamah Konstitusi (MK). âSilahkan saja ke MK,â tanadasnya
Terkendala Saksi
Nah, terkait dengan adanya ancaman tersebut plus ada sinyal positif dari Menkominfo, pihak Aliansi berencana akan mengajukan judicial review (JR) UU ITE ini ke MK. âUntuk JR, sudah dalam tahap pembicaraan di antara kami. Hanya memang, kapannya, itu yang belum bisa kita pastikan,â ujar Esti.
Esti dan Anggara sepakat bahwa masalah JR ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Khususnya dalam menghadirkan saksi ahli hukum pidana yang bersedia menjabarkan masalah telematika dan ITE yang tentu saja menguntungkan pihak Aliansi.
Anggara sedikit membeberkan pengalamannya. âAwalnya ada seorang profesor yang bersedia. Namun, setelah kita paparkan apa yang kita perjuangkan, belakangan si profesor itu menyatakan tidak bersedia. Inilah kendala terberat yang kami hadapi,â paparnya.
Seiring dengan rencana JR, pihak Aliansi juga mendesak pemerintah melakukan amandemen terhadap UU ITE. Bukannya optimis, Anggara dan Esti malah menunjukkan rasa pesimis. âAmandemen? Wah,.... mana mau ya pemerintah,â ujar keduanya sambil tergelak.(Lut)
Sumber www.hukumonline.com (05/05/08)
Foto www.rougarai.com/images/ecommerce-pic.gif