JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar mengajukan permohonan uji materi Pasal 30C Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, Pasal 263 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Pasal 248 ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Pada pokoknya, Pemohon meminta Pasal 30C UU Kejaksaan ditafsirkan seperti semula yang memberikan kewenangan jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
“Pada intinya nanti kami meminta supaya Pasal 30C itu dianggap inkonstitusional sepanjang tidak diartikan juga adanya mekanisme Peninjauan Kembali, artinya harus dinyatakan mekanisme Peninjauan Kembali itu kembali berlaku konstitusional,” ujar Jovi didampingi tim kuasa hukumnya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 63/PUU-XXII/2024 pada Rabu (17/7/2024) di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Pemohon meminta Pasal 30C UU Kejaksaan sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menghapus kewenangan Jaksa melakukan PK dinyatakan inkonstitusional. Dia menjelaskan, secara yuridis normatif terdapat ketidakpastian hukum berkaitan dengan berwenang atau tidaknya Jaksa mengajukan PK, baik perkara pidana, perdata, maupun tata usaha negara.
Sementara, rumusan Pasal 263 ayat (3) KUHAP tidak mengatur secara eksplisit dapat atau tidaknya Jaksa mengajukan PK. Pasal 263 ayat (3) KUHAP hanya menyatakan atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pemohon mengatakan, Pasal 263 ayat (3) KUHAP secara eksplisit tidak melarang Jaksa mengajukan permohonan PK. Bahkan menggunakan penalaran yang wajar dapat diambil penafsiran bahwa berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP, Jaksa dapat mengajukan PK khususnya terhadap putusan yang menyatakan perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Menurut Pemohon, penafsiran tersebut sangat wajar dan normal bahkan menjadi sesuatu yang aneh apabila ditafsirkan bahwa yang berwenang mengajukan PK sesuai rumusan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah eks terdakwa atau ahli warisnya saja. Sebab, sesuatu yang sangat mustahil apabila eks terdakwa yang dinyatakan bebas atau lepas mengajukan PK agar dirinya dipidana.
Menurut Pemohon, ambiguitas semakin terlihat jelas menunjukkan adanya ketidakpastian hukum apabila ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP tersebut disandingkan dengan Pasal 248 ayat (3) UU Peradilan Militer yang mana malah memberikan kewenangan kepada Oditur untuk mengajukan PK bahkan tanpa adanya keharusan yuridis normatif berkoordinasi dengan Kejaksaan RI melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer. Padahal, Jaksa adalah satu-satunya pejabat fungsional yang di seluruh dunia disebut sebagai pemilik perkara dengan istilah Dominus Litis.
Menurut Jovi, Kejaksaan tidak dimintai keterangan terkait perkembangan politik hukum pada saat penyusunan Rancangan Undang-Undang (yang kini telah ditetapkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia) yang memberikan kewenangan atributif kepada jaksa melakukan PK. Dia mengatakan, Perkara Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang diputus Mahkamah pada April 2023 lalu tanpa mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah (termasuk Kejaksaan) dan DPR justru akan memunculkan permasalahan baru.
Dengan demikian, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar rumusan Pasal 30C UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tetap sesuai dengan rumusan awal sebelum dikeluarkannya Putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023. Namun, rumusan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan berubah menjadi: “Jaksa dapat mengajukan Peninjauan Kembali sebagai bentuk tugas dan tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan kewenangan Jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama dan seimbang (equality of arms principle) dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali. Peninjauan kembali yang diajukan oleh oditurat dikoordinasikan dengan Kejaksaan Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer. Jaksa dapat melakukan Peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara pada bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dapat mengajukan Peninjauan Kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kemudian, Pemohon juga memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 263 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Jaksa terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan tersebut suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Jaksa juga dapat mengajukan Peninjauan Kembali sebagai bentuk tugas dan tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan kewenangan Jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama dan seimbang (equality of arms principle) dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali.”
Berikutnya, Pemohon memohon Mahkamah untuk menyatakan Pasal 248 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Pidana Militer bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Oditur berkoordinasi dengan Kejaksaan Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Oditur juga dapat mengajukan Peninjauan Kembali sebagai bentuk tugas dan tanggung jawab Oditur setelah berkoordinasi dengan Kejaksaan Republik Indonesia mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan kewenangan Oditur secara proporsional pada kedudukan yang sama dan seimbang (equality of arms principle) dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali.”
Nasihat Hakim
Sidang panel ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Enny meminta penjelasan Pemohon yang menyatakan Putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023 diputus tanpa ada itikad baik MK meminta keterangan pemerintah, DPR, dan Kejaksaan. Enny menjelaskan, sebagaimana Pasal 54 UU MK, Mahkamah dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden, sehingga permintaan keterangan tersebut bersifat tidak wajib.
“Mahkamah sudah banyak kali putusan yang sudah diputus oleh Mahkamah yang menurut Mahkamah tidak perlu kemudian atau tidak ada urgensi atau kebutuhan bagi Mahkamah untuk mendengar keterangan pihak-pihak yang dimaksud Pasal 54 (UU MK),” kata Enny.
Suhartoyo pun mencontohkan Perkara Nomor 6/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Jovi Andrea Bachtiar, diputus dikabulkan untuk sebagian tanpa mendengarkan keterangan presiden maupun DPR. Suhartoyo menegaskan, Pasal 54 UU MK itu bukan untuk kepentingan para pihak, melainkan kepentingan Mahkamah. “Jadi Pasal 54 (UU MK) itu kepentingannya untuk Mahkamah, perlu atau tidak untuk mendengar itu,” ucap Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan Pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam kurun 14 hari. Berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada Selasa, 30 Jili 2024 pukul 13.00 WIB.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.