JAKARTA, HUMAS MKRI – Penarikan kembali permohonan M. Robin Salam, warga Ujung Pandang, Makassar dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Sidang Pengucapan Ketetapan pada Senin (15/7/2024). Ketua MK Suhartoyo menyebutkan terhadap uji materiil Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) ini, Mahkamah telah menyelenggarakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 18 Maret 2024. Pada kesempatan tersebut, Mahkamah telah memberikan nasihat sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK serta memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya.
Namun pada 1 April 2024, Kepaniteraan MK menerima surat dari Pemohon yang mengajukan permohonan pencabukan perkaranya. Kemudian pada 3 Juli 2024 Mahkamah menyelenggarakan persidangan dengan agenda meminta konfirmasi atas pencabutan permohonan yang diajukan Pemohon. Dalam persidangan tersebut, pada pokoknya Pemohon membenarkan pencabutan melalui kuasa hukum yang disampaikan secara daring. Alasannya, Pemohon masih ingiin mendalami perkara yang diajukam tersebut. Atas hal ini, berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 4 Juli 2024 berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan perkara a quo beralasan menurut hukum dan tidak dapat mengajukan perkara ini kembali.
“Menetapkan, mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon; menyatakan permohonan Nomor 38/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) terhadap UUD Tahun 1945 ditarik kembali; menyatakan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo,” ucap Ketua MK Suhartoyo dalam sidang perkara Nomor 38/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga:
Tanah Warisan Diakui Milik TNI AD, Definisi Barang Milik Negara Diuji
Permohonan Uji UU Perbendaharaan Negara Dicabut
Sebelumnya, Pemohon menyebutkan bahwa norma yang diujikan tersebut menciptakan ketidakpastian hukum dan melahirkan penafsiran yang mengekang pemenuhan hak-hak konstitusional Pemohon, secara khusus hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah milik Pemohon. Sejatinya, Pemohon adalah ahli waris dari ayahnya, Haji Abdul Kadir Salam yang wafat pada 21 Juli 1992. Ayah Pemohon meninggalkan sebidang tanah yang dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 10/1998, Surat Ukur No. 4 Tahun 1956 yang merupakan sertifikat pengganti karena hilang dari SHM No. 1070/1956, Surat Ukur No. 4 Tahun 1956, tercatat atas nama Haji Abdul Kadir Salam.
Singkatnya, tanah tersebut dahulunya pernah dikuasai oleh negara melalui TNI AD pada 1968. Menurut pihak TNI AD, penguasaan fisik tanah saat itu dilakukan dengan dasar TNI AD telah melakukan jual beli di bawah tangan dengan seseorang yang bernama Abdul Fattah yang mengaku sebagai pemilik tanah. Setelah melewati proses yang panjang akhirnya pada 30 Januari 2003, pihak TNI AD c.q. Kodam VII Wirabuana mengembalikan tanah tersebut secara sukarela kepada Pemohon. Namun, pada 6 September 2021, pihak TNI AD c.q. Kodam XIV/Hasanuddin (dahulu bernama Kodam VII/Wirabuana) datang ke area tanah tersebut untuk menguasai fisik tanah dengan memasang spanduk yang menyatakan tanah milik TNI AD c.q. Kodam XIV/HASANUDDIN.
Atas permasalahan tersebut sebenarnya Pemohon dapat melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan sengketa tanah melawan Negara c.q. TNI AD di Pengadilan Umum. Namun menurut Pemohon, akar permasalahan karena adanya multitafsir dalam mendefinisikan barang milik negara. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan tentang barang milik negara/daerah baik di tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, maupun di tingkat peraturan menteri seluruhnya menetapkan definisi barang milik negara sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 10 UU Perbendaharaan Negara tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “Dalam hal barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN adalah berupa tanah maka status sebagai barang milik negara baru berlaku setelah tanah tersebut bersertifikat atas nama pemerintah Republik Indonesia”.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina