JAKARTA, HUMAS MKRI – Ahmad Sadzali yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) beserta lima mahasiswa UII memohonkan uji Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Perkara Nomor 59/PUU-XXII/2024 ini digelar oleh Majelis Sidang Panel yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh di Ruang Sidang Pleno pada Senin (15/7/2024).
Menurut para Pemohon, pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Sebab, tidak memberikan kepastian hukum kepada relawan yang melakukan tindak pidana politik uang dalam pelaksanaan pemilihan umum. Para Pemohon menilai keberadaan relawan dalam pelaksanaan kampanye misalnya dengan adanya pasal tersebut membatasi subjek pelaku apabila (relawan) melakukan tindak pidana politik uang. Sehingga kerancuan ini melahirkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Selain itu, sambung Muhammad Alfata Birza (Pemohon II), ketentuan ini menyulitkan penetapan tanggung jawab bagi individu atau kelompok lain (relawan) yang terlibat secara tidak langsung dan tidak terdaftar di KPU ini, namun dapat saja memberi dampak negatif dalam praktik aktivitas pemilihan umum (kampanye).
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap pelaku tindak pidana pemilu sehingga frasa setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye karena hal ini menjadi subjek yang limitatif tidak bisa bebas diberlakukan untuk setiap orang dengan ketentuan subjek hukum yang bersyarat tersebut, yaitu ketentuan pidana baru bisa diperlakukan kepada orang yang tercantum namanya dalam SK Pelaksana, SK Peserta dan/atau tim Kampanye yang dilaporkan kepada KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, ini merupakan bukti nyata celah lemahnya dalam penegakan hukum pemilu sehingga patut untuk diubah menjadi frasa “Barangsiapa/Setiap orang”.
Nasihat Hakim
Dalam nasihat persidangan, Hakim Konstitusi Arief menyebutkan para Pemohon harus fokus pada kerugian hak konstitusional selaku dosen dan mahasiswa yang dialami atas keberlakukan pasal-pasal yang diujikan ini. Berikutnya para Pemohon dapat mempelajari putusan-putusan MK yang telah membahas tentang perluasan subjek hukum yang bisa dipidana dan besar kecilnya yang dipidana yang terkait dengan dalil-dalil yang disebutkan sebagaimana tertuang pada permohonan.
“Dalam hal politik uang tak hanya tim kampanye saja yang dipidana, semua orang bisa saja dipidanakan tapi ini menjadi kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak dimintakan ke MK agar menjadi positive legislator dengan mengubah norma ini,” saran Hakim Konstitusi Arief.
Sementara Ketua MK Suhartoyo memberikan nasihat bahwa subjek hukum yang ingin diperluas para Pemohon ini merupakan bagian dari perampasan kemerdekaan orang. Sehingga hal ini menjadi kewenangan dari pembentuk undang-undang. Selain itu, para Pemohon harus menjabarkan kerugian konstitusional yang terdampak akibat praktik politik uang dalam pelaksanaan pemilu ini.
“Misal adanya tindak pidana politik uang ini, maka sebagai pemilih mengalami kerugian karena mendapati pemilu yang tidak jujur dan adil dan lainnya. Argumentasinya harus diperluat lagi dengan elaborasi kerugian-kerugian dengan kedudukan hukumnya ini,” jelas Ketua MK Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Suhartoyo menginformasikan kepada para Pemohon untuk dapat menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 29 Juli 2024 ke Kepaniteran MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan