JAKARTA, HUMAS MKRI – Calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kota Tegal pada Pemilu Tahun 2024 bernama Abdul Basir mengajukan pengujian materi Pasal 415 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Dia mempersoalkan ketentuan penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 415 ayat (3) UU Pemilu menyatakan, “Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, suara sah setiap partai politik dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya.”
Abdul Basir (Pemohon) memperoleh 2.186 suara sah pada daerah pemilihan (dapil) Kota Tegal 1 dan menduduki peringkat dua di internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Namun, PKB hanya mendapatkan satu kursi sebagaimana penghitungan kursi berdasarkan ketentuan Pasal 415 ayat (3) UU Pemilu dari sembilan kursi anggota DPRD Kota Tegal dapil 1 yang tersedia.
Karena itu, Pemohon yang berada di urutan kedua tidak berhasil memperoleh kursi anggota dewan. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak lolos menjadi caleg terpilih. Sedangkan, beberapa caleg di partai lain yang memperoleh suara sah di bawah perolehan suara Pemohon tetapi lolos menduduki kursi DPRD Kota Tegal sebagaimana penghitungan perolehan kursi berdasarkan ketentuan Pasal 415 ayat (3).
“Menurut kami serasanya tidak fair bagi kami karena Pemohon Doktor Abdul Basir memiliki suara yang lebih tinggi,” ujar kuasa hukum Pemohon, Mohammad Sonhaji Akbar dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 58/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta pada Kamis (11/7/2024).
Selengkapnya, Pasal 415 ayat (3) UU Pemilu berbunyi, “Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, suara sah setiap partai politik dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya.” Pemohon mengatakan, pasal ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 yang mestinya diwujudkan melalui sarana pemilihan umum yang menggunakan sistem penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan ditentukan berdasarkan suara partai dibagi dengan bilangan ganjil 1, 5, 7, 9, dan seterusnya atau dikenal dengan metode sainte lague.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 415 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (3) dan (4), Pasal 7B ayat (3) dan ayat (7), dan Pasal 37 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sejalan pemilihan umum calon legislatif 2024.
Nasihat Hakim
Sidang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Saat menyampaikan nasihat, Arsul menjelaskan berdasarkan ketentuan UUD 1945 bahwa peserta pemilu adalah partai politik, maka yang mendapatkan dan memiliku kursi adalah partai politik, bukan calegnya. Menurut Arsul, apapun metode penghitungan perolehan kursi, kepemilikan kursi tetap untuk partai politik, bukan perorangan. Arsul pun menegaskan, dalam sistem pemilu anggota legislatif di Tanah Air belum pernah berbasis pada perolehan suara terbanyak individu, melainkan perolehan suara terbanyak peserta pemilu dalam hal ini partai politik.
“Kedudukan para calon itu adalah ikut menentukan, bisa jadi dia bahkan dominan menentukan apakah partai politik itu memperoleh kursi atau tidak, tidak semuanya calon, karena tentunya ada suara pemilih yang mencoblos partai bukan mencoblos orang per orangan,” jelas Arsul.
Sementara itu, Wakil Ketua MK Saldi Isra yang bertindak sebagai Ketua Majelis Panel menyarankan agar Pemohon menjelaskan kerugian konstitusional Pemohon sebagai caleg DPRD kota karena peserta pemilu legislatif DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik. Sebelum menutup persidangan, Saldi menyampaikan, Pemohon memiliki waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan sehingga batas waktu penyampaian perbaikan permohonan kepada MK yaitu 24 Juli 2024 pukul 14.00 WIB. Saldi juga menginformasikan, Pemohon dapat menarik kembali permohonannya jika tidak ingin melanjutkannya.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.