JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) pada Kamis (11/7/2024), di Ruang Sidang MK. Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tersebut, Para Pemohon yang diwakili oleh Imam Nasef selaku kuasa hukum menyampaikan Para Pemohon merupakan Partai Politik yang telah mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2024. Sehingga Para Pemohon yang merupakan Partai Politik memiliki kader/anggota/pengurus yang harus dilindungi hak-haknya, khususnya hak politik berupa hak memilih dan hak dipilih sebagai pejabat pemerintahan.
“Hal ini menjadi konsekuensi logis dalam berdemokrasi, bahwa berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah maka setiap warga negara termasuk anggota/pengurus partai politik harus dijamin dan dilindungi hak-haknya khususnya hak untuk memilih (right to be vote) dan haknya untuk dipilih (right to be candidate), dan hak-hak Partai Politik pun juga harus dilindungi dan mendapatkan perlakuan yang sama dalam mengajukan calon kepala daerah/wakil kepala daerah,” tegas Imam.
Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada telah menimbulkan perlakuan yang berbeda terhadap partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD, meskipun sebenarnya Partai Politik termasuk Para Pemohon telah mendapatkan perolehan suara sah dalam Pemilu DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota.
“Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 telah memuat norma yang memperlakukan berbeda terhadap partai politik yang memiliki kursi di DPRD dengan partai politik yang hanya mendapatkan perolehan suara tanpa memiliki kursi di DPRD dalam hal hak dan kesempatan untuk mengajukan/mendaftarkan calon kepala daerah/wakil kepala daerah,” sebut Imam.
Imam melanjutkan, terhalangnya hak para Pemohon untuk mengajukan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan sistem keadilan Pemilu (electoral justice) yang merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Selain itu, Imam menjelaskan, terdapat perbedaan antara “perolehan suara sah” dengan “perolehan jumlah kursi” sebagaimana uraian Pasal 40 UU 10/2016 di atas. Ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 tersebut mengabaikan perolehan suara dalam pemilihan umum⎯dalam hal ini DPRD⎯yang telah mendapatkan legitimasi suara rakyat. Sedangkan perolehan jumlah kursi di DPRD itu dikarenakan berlakunya mekanisme/metode tertentu untuk menghitung konversi perolehan suara menjadi kursi DPRD, hal ini tidak selalu mutlak berhubungan dengan legitimasi suara rakyat.
“Dengan menerapkan perolehan suara sah dalam pemilihan umum DPRD, maka akan mengoptimalkan setiap suara rakyat yang ada untuk dapat kemudian mengusulkan pasangan calon kepala daerah. Norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 tersebut justru akan membuang banyak suara rakyat yang telah memilih partai politik tertentu, meskipun tidak mendapatkan kursi/lolos menjadi anggota DPRD,” ujar Imam.
Imam menegaskan, para Pemohon yang telah memperoleh suara sah dalam Pemilu DPRD Tahun 2024 seharusnya dapat mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah sebagaimana ketentuan Pasal 39 jo. Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada baik secara individual atau bergabung dengan Partai Politik lain (dengan memenuhi syarat memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan), namun akibat berlakunya ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, Para Pemohon menjadi kehilangan hak konstitusional dan kesempatan yang sama untuk mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah.
Oleh karena itu, Para Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Para Pemohon juga mengajukan permohonan provisi agar perkara ini mendapatkan prioritas pemerikasaan dan diputus sebelum pendaftaran pasangan calon Kepala Daerah yang dijadwalkan pada 27 – 29 Agustus 2024 untuk memastikan hak-hak konstitusional mereka tidak terabaikan.
Perbaikan Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan format permohonan para Pemohon telah lengkap, tetapi masih terdapat catatan yang harus diperbaiki.
“Secara umum saya melihat ini sudah baik permohonannya, karena yang diajukan ini sudah mempunyai pengalaman yang cukup untuk mengajukan permohonan. Adapun yang ingin diuji Pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10/2016. Secara teknis penulisan sudah lengkap baik dari segi kewenangan maupun juga legal standing apalagi legal standing-nya udah dijelaskan,” jelas Guntur.
Selain itu, Guntur menyebut, dalam petitum Para Pemohon hanya satu yang diinginkan. Sehingga ia menyarankan agar para Pemohon untuk membuat alternatif petitum. “Apakah Anda tidak berfikir ada alternatif? Kalau misalnya tidak dinyatakan inskonstitusional secara keseluruhan ayat (3) itu karena kan hanya ingin menghilangkan saja. Apakah misalnya itu tetap dengan memberikan pemaknaan? Sehingga, tujuan saudara untuk Partai Politik Gelora dan Partai Buruh ini untuk mengajukan calon bisa diakomodir kendatipun tidak mengubah secara keseluruhan normanya. Itu juga satu pemikiran juga, tetapi kalau anda memasukkan seperti itu tolong kasih argumentasi di positanya yang dapat tiktok dengan petitumnya,” sebutnya.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan para Pemohon untuk mempertegas perihal yang ingin diajukan permohonan pengujian itu seluruhnya atau hanya Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada saja.
“Kalau dilihat dari uraian memang hanya Pasal 40 ayat (3) saja. Bahkan kalau mau tegas lagi yang dipersoalkan itu hanya ujungnya dari pasal 40 ayat (3) yaitu terkait dengan frasa ketentuan ini hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di DPRD, itu kan yang sebetulnya yang dipersoalkan. Kalau persentase saya kira tidak dipersoalkan dari tadi. Saudara kan setuju betul tidak terkait persentase 25% suara sah kemudian 20% mendapatkan kursi DPRD. tetapi frasa di Pasal 40 ayat (3) khususnya ada pembatasan bahwa itu berkaitan dengan kursi di DPRD itu kan yang tidak setuju?,” kata Enny ketika memberikan saran perbaikan.
Sebelum menutup persidangan, Enny mengatakan Para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun berkas perbaikan paling lambat diterima oleh Kepaniteraan MK pada Rabu, 24 Juli 2024 pukul 13.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina