JAKARTA, HUMAS MKRI – Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Luky Alfirman menjelaskan penetapan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebagai objek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yang ditetapkan dengan tarif khusus sebagaimana ketentuan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD. Luky mengatakan, aktivitas-aktivitas diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa merupakan gaya hidup lifestyle dan bukan basic needs yang dibutuhkan dalam kehidupan seperti sandang, pangan, dan papan.
Luky hadir mewakili Pemerintah dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang berlangsung pada Kamis (11/7/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang dengan agenda mendengarkan keterangan DPR/presiden untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024, 31/PUU-XXII/2024, dan 32/PUU-XXII/2024. Presiden diwakili jajaran Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
“Tarif layanan yang relatif tinggi tersebut menjadi alasan mengapa aktivitas-aktivitas ini hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang relatif tinggi di mana kelompok masyarakat tersebut sudah mampu memenuhi kebutuhan utamanya dan masih memiliki kemampuan lebih untuk dibelanjakan pada hal-hal sekunder ataupun tersier seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa,” ujar Luky di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
Luky menuturkan, teori penetapan tarif pajak dikenal prinsip keadilan (equilty), kelompok masyarakat dengan ekonomi yang lebih tinggi akan menanggung beban pajak yang lebih besar daripada masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang lebih rendah. Pemerintah harus mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi atas barang-barang yang bersifat eksklusif tersebut untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Menurut Luky, negara memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk merumuskan kebijakan penetapan tarif pajak sehingga penetapan tarif pajak merupakan kebijakan terbuka (open legal policy). Pilihan kebijakan pembentuk undang-undang yang menetapkan jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebagai objek PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan pada UU HKPD tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara, pemerintah mengaku telah melakukan pembahasan dan penetapan tarif bersama dengan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak termasuk para pelaku usaha dan berbagai elemen masyarakat. UU HKPD juga memberikan ruang kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah untuk memberikan insentif fiskal berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi dan/atau sanksinya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 101 UU HKPD.
Pemerintah pun membantah pajak daerah atas mandi uap/spa merupakan pajak ganda, seperti dalil Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 yang mendalilkan wajib pajak PBJT harus menanggung pajak tambahan yang dikenakan pemerintah daerah. Menurut pemerintah, pengusaha hiburan merupakan wajib pajak yang kewajibannya hanya menghitung, memungut, menyetorkan, dan melaporkan PBJT yang sudah dibayar konsumen sebagai subjek pajak.
Keringanan Pajak
Di sisi lain, Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta penjelasan lebih lanjut terkait implementasi pemberian insentif pengusaha hiburan/jasa sebagai wajib pajak. Menurut Arsul, seharusnya keringanan atas pajak diberikan kepada konsumen sebagai pembayar pajak. Enny menambahkan, sebagaimana dalil permohonan, pajak cukup tinggi yang dibebankan kepada konsumen menyebabkan kondisi usaha hiburan/jasa bersangkutan menjadi sepi.
“Bagaimana ini kemudian bisa ada keseimbangan bahwa insentif fiskal itu kepada pelaku usaha tetapi kemudian juga tidak membebankan konsumen, mohon ini ada penjelasan,” ucap Enny.
Sementara, pihak DPR belum siap menyampaikan keterangan pada sidang hari ini. Ketua MK Suhartoyo mengatakan, sidang akan dilanjutkan pada Rabu, 24 Juli 2024 pukul 10.30 WIB dengan agenda mendengarkan ahli dari Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 terlebih dahulu. Perkara tersebut dimohonkan sejumlah pengusaha yang bergerak di bidang jasa pelayanan kesehatan mandi uap atau juga dikenal dengan spa.
Baca juga:
Pengusaha Minta Spa Tidak Masuk Kategori Jasa Kesenian dan Hiburan
Pengusaha Karaoke Uji Ketentuan Pajak Hiburan
Sejumlah Pengusaha Persoalkan Pengkhususan Tarif Pajak Hiburan
Pemohon: Usaha Spa Berpotensi Bangkrut Akibat Tarif Pajak 40 Persen
Pengusaha Karaoke Perbaiki Permohonan Uji Ketentuan Pajak Hiburan
Pengusaha Minta Pajak Hiburan Maksimal 10 Persen
Untuk diketahui, Pemohon merasa dirugikan karena usaha spa yang notabenenya bergerak dalam bidang kesehatan kemudian dikategorikan sebagai penyedia jasa kesenian dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Akibatnya, pengusaha spa harus menanggung tarif PBJT sebesar 40-75 persen yang dikenakan pemerintah daerah. Sedangkan, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 10 persen. Para Pemohon menginginkan agar mandi uap atau spa dikeluarkan dalam kategori jasa kesenian dan hiburan yang dikenakan tarif khusus PBJT paling rendah 40-75 persen.
Sementara, permohonan Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024 diajukan para pengusaha yang mewakili enam badan hukum yang menjalankan usaha dalam bidang pariwisata dan jasa/hiburan, yaitu Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI), PT Kawasan Pantai Indah, CV. Puspita Nirwana, PT Serpong Abadi Sejahtera, PT Citra Kreasi Terbaik, dan PT Serpong Kompleks Berkarya. Para Pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 58 ayat (2) UU HKPD yang mengatur pengkhususan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen. Pasal 58 ayat (2) UU HKPD menyatakan, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 4O% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)”.
Kemudian, Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 diajukan Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga. Dalam hal ini, Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 58 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 58 UU HKPD. Sebelum berlakunya ketentuan tersebut, pelaku usaha telah membayar pajak kepada pemerintah daerah sesuai peraturan yang berlaku. Pemohon menyatakan tarif PBJT terbaru akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan pajak PBJT minimal 40 persen dari jumlah konsumsi jasa karaoke yang digunakan. Menurut Pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi.
Untuk itu, Pemohon meminta MK menambah kata/frasa “dikecualikan terhadap karaoke keluarga” dalam pasal 58 ayat (2). Sehingga, Pemohon berharap Pasal 58 Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina