JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2000 ditunda. Sebab, Presiden (Pemerintah) yang diwakili kuasanya menyatakan belum siap membacakan keterangan pada sidang dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden pada Rabu (10/7/2024).
“Kami melakukan penundaan untuk pembacaan keterangan Presiden hari ini,” ujar perwakilan kuasa presiden, Purwoko sebagai Koordinator Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan Bidang Polhukam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta.
Sementara, DPR berhalangan hadir di persidangan. Ketua MK Suhartoyo berharap Presiden atau kuasanya dapat segera menyampaikan keterangan dalam perkara ini.
“Bapak juga tahu ini animo dari Pemohon dan Prinsipal ini kan sangat mengharapkan persidangan cepat sepertinya karena yang hadir juga cukup banyak, jangan sampai nanti minta penundaan lagi Pak, ini kesempatan terakhir untuk diperhatikan,” ucap Suhartoyo didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan, sidang Perkara Nomor 10/PUU-XXII/2024 akan dilanjutkan pada 18 Juli 2024. Para Pemohon perkara ini yaitu Wali Kota Bontang Basri Rase bersama Ketua DPRD Kota Bontang Andi Faisal Sofyan Hasdam, Wakil Ketua I DPRD Kota Bontang Junaidi, serta Wakil Ketua II DPRD Kota Bontang Agus Haris mengaku telah menerima surat mandat dari Forum Komunikasi Masyarakat Sidrap dan tujuh RT di Kelurahan Guntung untuk mengajukan pengujian UU tersebut. Aspirasi masyarakat itu pun kemudian di bahas dalam rapat paripurna kedelapan Sidang I DPRD Kota Bontang dan disepakati untuk mengajukan pengujian UU 47/1999 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga:
Sengketa Batas Wilayah Kota Bontang Diuji ke MK
Pemohon Uji UU Pembentukan Kota Bontang Perbaiki Permohonan
Sebelumnya, Wali Kota Bontang Basri Rase bersama Ketua DPRD Kota Bontang Andi Faisal Sofyan Hasdam, Wakil Ketua I DPRD Kota Bontang Junaidi, serta Wakil Ketua II DPRD Kota Bontang Agus Haris mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2000. Para Pemohon Perkara Nomor 10/PUU-XXII/2024 ini menguji Penjelasan Pasal 2, Pasal 7, Pasal 10 ayat (4), Pasal 10 ayat (5), serta Lampiran 5 berupa peta wilayah Kota Bontang dalam UU 47/1999 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.
Para Pemohon menilai pasal-pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena menetapkan batas-batas wilayah Kota Bontang yang tidak sesuai dengan batas historis wilayahnya, baik ketika masih berstatus Kecamatan Bontang maupun setelah berstatus Kota Administratif Bontang. Pada 4 Oktober 1999 dengan disahkannya UU 47/1999, Kota Bontang secara resmi dibentuk dan ditetapkan terdiri dari dua kecamatan, yakni Kecamatan Bontang Selatan dan Bontang Utara.
Adapun Kecamatan Bontang Barat yang telah dibentuk 16 Juli 1999 berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai No. 17/1999, tidak ikut ditetapkan menjadi bagian dari wilayah Kota Bontang. “Di dalam Undang-Undang bahkan ada pengurangan wilayah yang tadinya sampai di bawah sampai Desa Sekambing ketika Undang-Undang itu disahkan desa itu menjadi tidak ada di dalam peta,” ujar kuasa hukum para Pemohon Heru Widodo dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Senin (12/2/2024).
Selain itu, para Pemohon memaparkan, sejak Pemilu 2004-2024, wilayah Sidrap telah masuk menjadi bagian dari daerah pemilihan Kota Bontang. Warga Sidrap yang berada di RT 19 sampai dengan RT 25 telah terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kelurahan Guntung, Kota Bontang dan menyalurkan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ada di wilayah Kecamatan Bontang Utara. Menurut Pemohon, Lampiran 5 UU 47/1999 yang tidak memasukkan wilayah Desa Sidrap sebagai bagian dari daerah pemilihan Kota Bontang telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam konteks penggunaan hak pilih warga.
Para Pemohon dan Pemerintahan Kabupaten Kutai Timur telah tercapai suatu kesepakatan mengenai masuknya kembali wilayah Sidrap ke wilayah Kota Bontang sesuai dengan aspirasi warga Sidrap yang selama ini telah menyatakan sikap untuk bergabung dengan Kota Bontang. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil, karena pada akhirnya DPRD Kabupaten Kutai Timur membatalkan secara sepihak tanpa alasan.
“Karena rangkaian fakta tentang upaya-upaya untuk menyelesaikan batas wilayah tersebut khususnya mengenai Dusun Sidrap tidak berujung, maka upaya terakhir Para Pemohon lakukan adalah dengan memohon keadilan dan penyelesaian dari Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil, salah satunya atas Lampiran 5 UU 47/1999,” kata Heru.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Penjelasan Pasal 2 UU 47/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Para Pemohon juga meminta MK memasukkan Bontang Barat dalam Pasal 7 dan Kecamatan Bontang Barat dalam Pasal 10 ayat 4 huruf c UU 47/1999. Kemudian para Pemohon meminta MK memaknai Pasal 10 ayat 5 huruf d UU 47/1999 menjadi “d. Kota Bontang mempunyai batas wilayah sebelah barat dengan Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur” serta tidak memasukkan wilayah Sidrap atau yang saat ini nomenklaturnya berubah dengan nama “RT” yang terdiri dari RT 19, RT 20, RT 21, RT 22, RT 23, RT 24, dan RT 25 sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Bontang Utara Kota Bontang dan Desa Sekambing sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Bontang Selatan Kota Bontang dalam Lampiran 5 berupa Peta Wilayah Kota Bontang UU 47/1999.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.