RESISTENSI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik tertentu terhadap upaya penggeledahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berakhir.
Kendati demikian, peristiwa itu masih meninggalkan kesan dan pesan bahwa DPR dan partai politik belum sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan korupsi di republik tercinta ini. Padahal dalam sejarah, seperti terjadi di banyak negara,semisal Inggris dan China, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak pernah lepas dari peranan parlemen dan partai politik.
Lalu, apa yang bisa diharapkan dari DPR dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi? Di zaman reformasi yang dimulai 1998, peranan DPR semakin kuat dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini terlihat dari menguatnya beberapa kewenangan DPR,yaitu legislasi, anggaran, pengawasan terhadap pemerintah, serta melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) bagi sejumlah pejabat publik seperti Gubernur Bank Indonesia.
Banyak harapan digantungkan kepada DPR yang kuat ini, termasuk dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi. Berhasil tidaknya memenuhi harapan tersebut tergantung cara pandang DPR terhadap kewenangan yang semakin kuat itu. Kalau kewenangan dianggap sebagai amanat rakyat, hasilnya menjadi positif.
Tetapi kalau kewenangan itu dianggap hanya sebagai kekuasaan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kepentingan para anggota DPR, maka tidak banyak manfaat yang dirasakan oleh rakyat.Bahkan mungkin menimbulkan mudarat. Dengan peranan di bidang legislasi, DPR diharapkan dapat melahirkan undang-undang (UU) yang selalu memihak kepentingan umum dan rakyat yang diwakilinya.
DPR diharapkan dapat menghasilkan UU yang melahirkan sistem yang baik dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Terkait hal ini, sudah ada yang dilakukan DPR, seperti UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang usul inisiatifnya berasal dari DPR.Tetapi RUU inisiatif DPR ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan UU atas inisiatif pemerintah yang tampaknya lebih siap dibandingkan DPR.
Karena itu, dalam pembahasan RUU yang diajukan pemerintah, anggota DPR diharapkan tetap mengutamakan kepentingan umum dan tidak mengambil keuntungan pribadi, seperti yang pernah terdengar dalam beberapa kasus. Seharusnya anggota DPR mengalahkan kepentingan pribadi dan golongannya untuk kepentingan lebih besar, yaitu kepentingan umum dan rakyat yang diwakilinya.
Kewenangan DPR di bidang anggaran yang lebih kuat dibanding pemerintah dapat digunakan mengarahkan penggunaan anggaran untuk kepentingan umum seperti pencegahan dan pemberantasan korupsi. DPR dapat memberi alokasi anggaran yang lebih besar dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. DPR dapat memberikan anggaran untuk lembaga penegak hukum yang benarbenar berprestasi dalam pemberantasan korupsi.
Sebaliknya, DPR bisa tidak menambah atau justru mengurangi anggaran bagi lembaga penegak hukum yang kurang berprestasi dalam memberantas korupsi.Kalau terlihat ada lembaga penegak hukum atau aparatur pemerintah masih melakukan korupsi, padahal anggarannya sudah cukup untuk membayar remunerasi dan biaya operasional,DPR harus bertindak dengan mengurangi anggaran.
Sudah tentu rakyat tidak ingin mendengar lagi ada anggota DPR yang menyalahgunakan kewenangan ini untuk menjadi calo anggaran seperti pernah terjadi beberapa waktu lalu. Kewenangandibidangpengawasan dapat digunakan DPR untuk mengarahkan dan mengontrol jalannya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Fungsi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya dalam bentuk rapat dengan pendapat (RDP) antara lembaga-lembaga penegak hukum dan instansi pemerintah lainnya dengan komisi di DPR, khususnya Komisi III yang membidangi hukum. Dalam RDP ini,anggota DPR dapat bertanya,menyarankan, mengkritik dan mengawasi jalannya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Jangan sampai terjadi, forum RDP ini digunakan oleh anggota DPR untuk menyuarakan kepentingan orang atau pihak tertentu, tetapi mengabaikan tugas pokoknya dalam melakukan pengawasan untuk kepentingan umum. Kewenangan DPR untuk menyelenggarakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) juga sangat penting untuk memilih pejabat yang kompeten, memiliki integritas, dan diterima luas oleh masyarakat.
Hal ini sangat penting karena pejabat publik itu akan memegang posisi yang sangat penting seperti gubernur Bank Indonesia, hakim agung, dan panglima TNI. Posisi-posisi jabatan publik itu sangat penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.Pada waktu melaksanakan tugas ini,anggota DPR diharapkan tidak lagi mendasari keputusannya hanya pada akseptabilitas politik atau materi, serta janji atau sponsor yang mendukung sang calon pejabat publik.
Mulai dari Diri Sendiri
Pada waktu berkunjung ke Republik Rakyat China beberapa waktu lalu bersama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terungkap beberapa kunci suksesnya pemberantasan korupsi di negara itu. Ketika memulai pemberantasankorupsi,Presiden China berkata, âBerikanlah kepada saya sepuluh peti mati.Sembilan untuk jenazah orang yang melakukan korupsi, dan satu untuk saya apabila juga melakukan korupsi.
âDi samping itu, hukuman terhadap koruptor sangat berat, termasuk hukuman mati.Yang terakhir, yang tidak kalah pentingnya adalah kalau seorang pejabat ditindak oleh negara karena korupsi, komite disiplin partai juga memberikan tindakan kepada pejabat tersebut. Seharusnya kita belajar dari China.
Kalau ada anggota DPR atau partai melakukan korupsi, mestinya Badan Kehormatan DPR atau partai politik melakukan tindakan tegas untuk mendukung penegakan hukum. Jangan sampai DPR atau partai politik membela tanpa alasan atau justru melakukan resistensi. Sebab, resistensi dari DPR atau partai politik justruakanmerusakcitraDPR dan partai politik tersebut.
Upaya Perbaikan
Lord Acton (1834-1902) pernahmenyatakan, powertendsto corrupt and absolute power corrupt absolutely. Untuk mencegah hal tersebut tidak terjadi, perbaikan governance di DPR adalah suatu keniscayaan. Peningkatan governance di DPR dapat memakai formula yang ditawarkan Bank Dunia untuk perbaikan sektor pemerintahan. Pelaksanaan good governance harus mampu mencapai 3E,yaitu empower,enable dan enforce.Pertama,empower masyarakat untuk memperoleh pertanggungjawaban DPR melalui partisipasi.
Kedua, enable DPR untuk merespons new demands melalui capacity buliding Badan Kelengkapan DPR dan anggotanya. Ketiga, enforce kepatuhan terhadap perundang-undangan dan peraturan tata tertib DPR,serta transparansi lebih luas yang mencakup kegiatan DPR maupun anggotanya.Bila tiga hal ini dapat terpenuhi, good governance diharapkan dapat terlaksana dengan baik.
Di samping itu, DPR dan partai politik sebaiknya membentuk koalisi bersama pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam memberantas korupsi. Koalisi seperti ini dilakukan oleh Korea Selatan dengan membentuk K-Pact (Korea Pact on Anti-Coorruption andTransparancy). K-Pact akan menilai penerapan governance masing-masing anggota koalisi. Diharapkan, dengan dua hal tersebut kita dapat memperoleh dukungan penuh DPR dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.(*)
Sumber www.seputar-indonesia.com
Foto www.google.co.id