JAKARTA, HUMAS MKRI - Setiap orang termasuk orang tua anak yang bukan sebagai pemegang hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, membawa lari anak tersebut, maka tindakan itu seharusnya termasuk dalam kategori tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP, meskipun anak telah memberikan persetujuan atas tindakan membawa lari tersebut.
Demikian disampaikan oleh Ahmad Sofian, Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan oleh Pemohon Perkara Nomor 140/PUU-XXI/2023 dalam persidangan yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (9/7/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih lanjut Ahmad mengatakan, persetujuan anak harus dianggap batal demi hukum karena pengadilan telah menetapkan pemegang hak asuh anak dalam proses pemeriksaan yang juga telah memeriksa anak dan kedua orang tuanya. “Dalam hal tindak pidana membawa lari anak dan anak tersebut masih dikuasai oleh salah satu orang tua yang bukan pemegang hak asuh anak, maka harus ditafsirkan Pasal 330 ayat (1) KUHP harus dapat diterapkan,” terangnya.
Selain itu, dalam keterangan tertulisnya, ia mengatakan, tindak pidana membawa lari anak ini adalah tindak pidana yang perbuatannya berlanjut. Artinya anak yang dibawa lari dari salah satu ibu/bapak kandungnya tetap menguasai anak tersebut, dan salah satu pihak lainnya tidak diberikan akses bertemu atau malah tidak diketahui keberadaannya. Timbulnya akibat psikologis yang dirasakan oleh salah satu ibu atau bapak kandung anak tersebut, dan akibat itu masih dirasakan sehingga tafsir yang harus diberikan terkait dengan rumusan pasal 330 ini pun tidak sekedar melihat tempus perbuatan itu dilakukan saja tetapi juga akibat yang dirasakan oleh korban (ibu atau bapak kandung) serta peristiwa pidana itu masih berlanjut hingga anak belum dikembalikan kepada pemegang hak asuh anak yang sah.
“Tafsir ini bukanlah merupakan pelanggaran asas non-retroaktif, tetapi sebagai bagian dari perbuatan berlanjut yang memiliki akibat psikologis/psikiater dan atau akibat lainnya yang dirasakan oleh korban ibu atau bapak kandung pemegang hak asuh anak,” tegasnya.
Baca juga:
Perjuangkan Hak Asuh, Lima Ibu Persoalkan Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Lima Ibu Perbaiki Uji KUHP Soal Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan Soal Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Penjelasan Pemerintah dan DPR Ihwal Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Perjuangkan Hak Asuh Anak, Tsania Marwa Jadi Saksi di MK
Sebagai tambahan informasi, permohonan dengan Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak. Para Pemohon menguji frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946).
Selengkapnya Pasal 330 ayat (1) KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (2/11/2023), kuasa Pemohon, Virza Roy Hizzal mengatakan para Pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai dengan suaminya, memiliki hak asuh anak. Namun, saat ini tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa. Misalnya yang dialami Aelyn Halim. Ia mengaku tidak mengetahui di mana putrinya yang bernama Arthalia Gabrielle itu berada, karena telah disembunyikan oleh mantan suaminya. Peristiwa ini bermula pada 15 Agustus 2020, pada saat Arthalia berusia 2 tahun 8 bulan. Mantan suami Aelyn yang juga ayah kandung Arthalia itu, mengambil Arthalia saat Aelyn sedang beraktivitas di luar rumah.
Selanjutnya Aelyn melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Namun, laporan Aelyn tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur adalah ayah kandungnya.
Virza menyebut negara harus hadir ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak. Perbuatan memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak bukanlah ranah hukum privat melainkan telah memasuki ranah publik dalam hal ini hukum pidana.
Menurut para Pemohon, frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sudah sepatutnya diberlakukan bagi setiap orang termasuk Ayah atau Ibu kandung dari anak, sebagai subjek hukum. Tidak boleh ada pengecualian yang memberikan kekuasaan dan kewenangan mutlak bagi Ayah atau Ibu jika sampai terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak sehingga tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. Pemenuhan hak-hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia di mana terdapat peran dan tanggung jawab negara memberikan perlindungan, pengawasan serta penegakan hukum guna tercapainya kesejahteraan bagi anak. Oleh karenanya negara berwenang melakukan penindakan terhadap orang tua yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), yang kemudian berlaku berdasarkan UU 1/1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana jo. UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak.”
Penulis: Putri Ratnasari, Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.