JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemohon pengujian Undang-Undang (UU) tentang Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus UU tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang teregistrasi dalam Perkara Nomor 51/PUU-XXII/2024, tidak menghadiri sidang pendahuluan yang diselenggarakan pada Senin (8/7/2024) ini. Majelis Panel Hakim Konstitusi sempat menunggu Pemohon setelah persidangan sudah dibuka, tetapi Pemohon tetap tidak kunjung hadir.
“Ini tampaknya Pemohon meskipun sudah dipanggil secara sah dan patut dalam jangka waktu sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, namun Pemohon tidak hadir dan juga tidak memberikan kabar/pemberitahuan kepada Mahkamah Konstitusi,” ujar Hakim Konstitusi Arsul Sani yang bertindak sebagai ketua majelis panel hakim konstitusi, di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta.
Dengan demikian, persidangan tidak dapat dilanjutkan. Sebelum menutup persidangan, Arsul menjelaskan, ketidakhadiran Pemohon pada sidang perdana ini akan dilaporkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk menentukan nasib kelanjutan perkara tersebut.
“Sehingga tentu sidang tidak bisa diteruskan untuk saat ini dan selanjutnya Majelis Panel akan menyampaikan dan melaporkan ketidakhadiran Pemohon dalam Perkara Nomor 51/PUU-XXII/2024 ini kepada Rapat Permusyawaratan Hakim yang terdiri dari sembilan hakim tentang kelanjutan perkara ini,” ucap Arsul.
Sebagai informasi, perkara ini dimohonkan seorang dosen bernama Dr. Demas Brian Wicaksono, S.H., M.H. yang memberikan kuasa kepada para advokat dan konsultan hukum yang berkantor di Oase Law Firm. Dalam berkas permohonannya, Pemohon mempermasalahkan tidak diaturnya mengenai frasa yang melarang hakim MK mengikuti proses persidangan akibat adanya pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim MK yang telah diputuskan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Pasal 28 ayat (1) berikut Penjelasannya dalam UU MK.
Hal ini mengingat ada Putusan MKMK Nomor 2/MKMK.L/11/2023 pada 23 Oktober 2023 yang memutus Hakim Konstitusi Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama. Anwar tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
Menurut Pemohon, norma dan frasa yang terkandung dalam Pasal 28 ayat (1) serta Penjelasannya yang mengatur berkaitan dengan seorang hakim konstitusi tidak dapat menjalankan kewajibannya karena keadaan luar biasa tidaklah secara spesifik mengatur hakim konstitusi yang dinyatakan melanggar kode etik dan perilaku hakim sebagaimana Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023. Sehingga potensial akan merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum atas putusan MKMK.
Pemohon meminta MK memberikan penambahan frasa yang terkandung dalam Pasal 28 ayat (1) UU MK serta Penjelasannya yang pada pokoknya MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno MK dengan sembilan orang hakim konstitusi, kecuali karena ada hakim yang berhalangan hadir, mengundurkan diri, dijatuhi sanksi melanggar etik dan perilaku hakim konstitusi oleh MKMK, atau keadaan luar biasa dengan jumlah hakim konstitusi kurang dari sembilan orang yang dipimpin Ketua MK.
Pemohon juga mempersoalkan adanya pembatasan waktu dalam proses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sebagaimana diatur Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU Pemilu. Pemohon mengatakan, tidak adanya aturan tersebut akan terjadi ketidakpastian hukum yang adil yang dialami Pemohon PHPU di MK akibat sempitnya jangka waktu pembuktian permohonan dalam PHPU presiden dan wakil presiden.
Menurut Pemohon, pembatasan waktu proses persidangan PHPU tersebut tentu akan membatasi setiap warga negara yang mengajukan perkara sengketa hasil pemilu untuk membuktikan dalil-dalil yang diajukannya, sehingga hal tersebut berdampak pada kualitas pembuktian yang diajukan Pemohon yang pada muara akhirnya akan berdampak kepada keadilan dan kepastian hukum dalam putusan PHPU. Persidangan PHPU khususnya terkait dengan presiden dan wakil presiden adalah merupakan persidangan yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara Indonesia, sehingga untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan bagi setiap peserta pemilu yang merasa proses pemilu yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak adil, maka seharusnya Undang-Undang memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara Indonesia yang sedang mengajukan PHPU untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya tanpa ada rasa tertekan dan terhimpit pembatasan waktu tersebut.
Pemohon menilai adanya pembatasan waktu 14 hari dalam persidangan PHPU sebagaimana diatur dalam Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945. Sebab, hal tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.