JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah tetap yakin Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disahkan menjadi Undang-Undang Pengadilan Tipikor tepat pada waktunya.
Jika DPR tak kunjung membahas RUU Pengadilan Tipikor hingga batas waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) menjelang, akan ada langkah yang diambil.
Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM Abdul Wahid Masru dalam diskusi terbatas, Rabu lalu. "Yang pasti, kami optimistis RUU tersebut akan disahkan menjadi undang-undang tetap pada waktunya," kata Abdul Wahid.
Dalam diskusi itu, Abdul Wahid menyatakan draf RUU Pengadilan Tipikor tersebut saat ini masih berada di tangan Presiden. Menurut dia, ada beberapa hal yang perlu mendapat persetujuan Presiden sebelum draf tersebut diserahkan ke DPR untuk dibahas. Namun, Abdul Wahid menolak mengungkapkan hal-hal apa saja yang masih mendapat persetujuan Presiden.
Namun, dia menjamin RUU tersebut tetap mendapat perhatian serius dari Presiden. Bahkan, Abdul Wahid mengaku pemerintah telah menetapkan langkah darurat, jika batas waktu yang diberikan MK tidak memadai lagi untuk pembahasan RUU tersebut. "Kita sudah siapkan langkah darurat untuk itu," kata Abdul Wahid tanpa mau menjelaskan langkah dimaksud.
Berkaitan dengan semakin sempitnya waktu untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor, pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, mengusulkan untuk mencoba tiga jalan sebelum menyatakan kondisi darurat dalam pembentukan UU Pengadilan Tipikor. "Secara teoritik ada tiga pilihan untuk menyelesaikan persoalan tersebut yaitu melalui legislative review, executive review dan judicial review. Namun, ketiganya tidak bisa menjamin penyusunan UU yang akan berjalan dengan baik," kata Denny pada kesempatan yang sama.
Bukan tidak mungkin, kata Denny, ketiga jalan tersebut justru akan membubarkan Pengadilan Tipikor. Tergantung niat baik Presiden, anggota DPR dan independesi hakim-hakim konstitusi.
Dalam pandangan Denny, hal yang mungkin harus didorong untuk mempercepat pembentukan UU tersebut adalah dengan mengaitkan kemungkinan bubarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai dampak dari pembubaran Pengadilan Tipikor. "Sebab, sekarang masyarakat saat ini tampaknya tidak ingin melihat KPK dibubarkan. Padahal kalau Pengadilan Tipikor dibubarkan, bisa berakibat pada pembubaran KPK," kata Denny.
Meski begitu, Denny juga menyatakan perlunya dipikirkan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam keadaan darurat. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Dalam hal ini, Presiden harus sepakat bahwa ada kondisi darurat dalam penyusunan UU Pengadilan Tipikor tersebut.
Namun, Direktur Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan (PSHK) Universitas Indonesia (UI), Bivitri Susanti, menilai penggunaan Perppu sebagai landasan hukum Pengadilan Tipikor cukup berisiko. "Kalau dipaksa menggunakan perppu memerlukan kompromi dan persoalan teknis yang terlalu besar," kata Bivitri. (Nefan Kristiono)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id