JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 pada Senin (8/7/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
Dalam persidangan MK yang digelar secara luring dari Ruang Sidang Pleno MK, Amalinda Savirani yang merupakan Dosen Ilmu Sosial dan Politik UGM yang dihadirkan Pemohon sebagai Ahli mengatakan, kelas pekerja bukanlah semata penyedia tenaga yang ditukar dengan upah, melainkan juga warga negara yang melekat di dalamnya kewajiban negara menjamin hak-hak tersebut. Kelas pekerja atau kelas buruh adalah warga negara. Ketika mengatakan warga negara, maka yang terletak dalam konsep tersebut adalah kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak dasar sebagai pekerja.
“Persoalan kelas pekerja, persoalan perburuhan itu tidak dapat dilepaskan dari konteks makro yang disebut sebagai de-industrialisasi,” jelas Amalinda.
Menurut Amalinda, sumbangan sektor industri terhadap pendapatan negara terus-menerus berkurang. Artinya, lanjutnya, inilah bentuk konkret dari proses de-industrialisasi berkurangnya sumbangan pendapatan dari sektor manufaktur terhadap pendapatan negara.
“Terus-menerus terjadi tekanan terhadap sektor manufaktur atau sektor pengolahan yang ditandai dengan terus-menerus berkurangnya sumbangan sektor ini terhadap negara,” jelasnya.
Amalinda mengatakan, pembicaraan terkait dengan gugatan terhadap UU Cipta Kerja dari sektor perburuhan itu harus perlu melihat makro-ekonomi Indonesia saat ini. Selain itu, sambungnya, Indonesia tidak bisa mengabaikan tren demografi. Tren demografi yang dimaksud adalah terus meningkatnya populasi tenaga buruh generasi muda yang akan memasuki lapangan kerja. Penentuan UU Cipta Kerja tanpa sensitif pada kesejahteraan kelompok ini akan sangat menghasilkan kelas yang sangat rentan terhadap hak mereka sebagai pekerja.
“Kalau kita tidak berhati-hati dalam menentapkan atau mengatur soal UU tentang Ketenagakerjaan ini kita juga akan menyumbang masa depan generasi muda di Indonesia. Sehingga dua konteks tersebut yakni ekonomi dan demografi sangat penting untuk dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Konstitusi terkait revisi UU ini,” tegasnya.
Dalam keterangan tertulisnya, Amalinda juga menyebutkan, negara berperan sentral dalam pemenuhan hak sosial dan ekonomi kelas pekerja agar untuk menjadi “warga” atau citizen sepenuhnya yang dengannya mereka dapat mewujudkan potensi maksimal sebagai warga negara. “Negara berkewajiban untuk mengatur hak-hak dan kesejahteraan mereka,” tegasnya.
Baca juga:
Partai Buruh dan Serikat Pekerja Uji 12 Klaster UU Cipta Kerja
Kurangi Pasal yang Diuji, Partai Buruh Kuatkan Alasan UU Cipta Kerja Inkonstitusional
Pemerintah Belum Siap, MK Tunda Sidang UU Cipta Kerja
Pemerintah: Aturan Perjanjian Kerja dan Alih Daya dalam UU Cipta Kerja Lindungi Buruh
Sebelumnya, para Pemohon menguji 12 klaster, tiga pasal, dan sekitar 50 norma dalam UU Cipta Kerja. Adapun klaster-klaster dimaksud yaitu, Lembaga Pelatihan Kerja; Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja; Tenaga Kerja Asing; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); Pekerja Alih Daya (Outsourcing); Waktu Kerja; Cuti; Upah dan Upah Minimum; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK); Penghapusan Sanksi Pidana; dan Jaminan Sosial. Para Pemohon mendalilkan pasal-pasal yang diuji tidak mencerminkan jaminan dan perlindungan hukum yang adil bagi tenaga kerja dan oleh karenanya bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Para Pemohon dalam 93 poin petitum antara lain meminta MK menyatakan tanda baca “titik koma (;)” dan kata “atau” setelah frasa “lembaga pelatihan kerja swasta” dalam Pasal 81 angka 1 UU 6/2023 yang mengubah dan memuat ketentuan Pasal 13 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b berbunyi: “b. lembaga pelatihan kerja swasta”. Kemudian menyatakan Pasal 81 angka 3 UU 6/2023 yang mengubah dan memuat ketentuan Pasal 37 ayat (1) huruf b UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “lembaga penempatan tenaga kerja swasta berbadan hukum”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina