JAKARTA, HUMAS MKRI – Kehadiran Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer berperan sebagai penghubung antara Jaksa Agung dengan Panglima TNI dalam upaya peningkatan koordinasi dan pengendalian untuk penanganan perkara koneksitas. Selain itu, keberadaannya dapat menjadi katalisator dari pelaksanaan kewenangan aparat penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Demikian keterangan yang disampaikan Kepala Staf Umum TNI Letnan Jenderal TNI Bambang Ismawan mewakili Panglima TNI sebagai Pihak Terkait dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 87/PUUXX/2023. Perkara ini diajukan oleh Gugum Ridho Putra (Pemohon) yang menguji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sidang kesembilan yang digelar pada Kamis (4/7/2024) ini beragendakan mendengarkan keterangan dari Panglima TNI (Pihak Terkait) serta keterangan tambahan dari Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) dan Ahli yang dihadirkan PJI.
Lebih lanjut lanjut Bambang mengatakan, atas dalil Pemohon mengenai penguatan fungsi KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi, dapat disikapi oleh KPK dengan membina relasi kelembagaan melalui penyerahan perkara tindak pidana korupsi koneksitas yang ditangani oleh Kejaksaan Agung agar diselesaikan dengan mekanisme koneksitas yang telah berjalan dengan baik. Kemudian Bambang menguraikan bahwa Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang Peradilan Militer menempatkan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hal ini, tidak terlepas dari kewenangan penuntutan Oditur Militer dalam perkara koneksitas berupa pelimpahan sebagian kewenangan Jaksa Agung. Sehingga, tidak diberikannya kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi koneksitas tertentu kepada KPK tersebut bukan bermakna sebagai suatu bentuk pelanggaran atas prinsip persamaan di hadapan hukum.
“Justru ini sebagai sebagai bentuk tanggung jawab yang diberikan negara melalui undang-undang dengan sistem penyelesaian secara terintegrasi antara penyidik polisi militer, oditur militer, dan jaksa. Sehingga menjawab diskursus mengenai kemungkinan dibentuknya direktorat khusus pada KPK yang menyerupai struktur organisasi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer di Kejaksaan Agung merupakan suatu yang tidak dimungkinkan menurut undang-undang karena terbatasnya posisi yang dapat ditempati oleh prajurit aktif berdasarkan UU TNI dan UU Kejaksaan,” jelas Bambang dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
Kewenangan Jaksa Agung Muda
Sementara Ahli yang dihadirkan PJI Fachrizal Afandi mengemukakan, dalam tindak pidana korupsi yang melibatkan militer dan sipil, KPK memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutannya. Namun, kewenangan ini harus dikaitkan dengan UU Kejaksaan, yang menetapkan Jaksa Agung yang berperan sebagai penuntut umum tertinggi di Indonesia. Adanya prinsip lex posterior derogat legi priori, yang secara filosofis hadir untuk mengakomodasi perubahan politik hukum suatu negara, maka secara konstitusional UU Kejaksaan yang lebih baru haruslah dijadikan sebagai acuan dalam membaca UU KPK, termasuk dalam penanganan perkara koneksitas. Dengan kata lain, kewenangan penuntutan KPK dalam perkara koneksitas harus tetap dipertanggungjawabkan kepada Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi di Indonesia.
“Dengan demikian, pemberlakuan UU Kejaksaan menempatkan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi yang mengendalikan penuntutan semua perkara pidana koneksitas, termasuk dalam pidana korupsi. Bahwa pembentukan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer melalui Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2021 ini berguna dalam mengoordinasikan teknis penuntutan dan penanganan perkara koneksitas. Oleh karenanya, kehadiran Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer tidak lain ditujukan untuk menjembatani kesenjangan antara peradilan sipil dan militer, serta meningkatkan efektivitas penanganan perkara koneksitas, khususnya dalam kasus-kasus besar seperti korupsi,” terang Fachrizal.
Baca juga:
Memperkuat Kewenangan KPK dalam Penyidikan Tipikor Koneksitas
Pemohon Uji UU KPK Ubah Kedudukan Hukum
MK Tunda Sidang Uji Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Koneksitas
Ahli : Koordinasi Kejaksaan, Peradilan Militer, dan KPK dalam Selesaikan Perkara Korupsi
Mahkamah Agung dan Persatuan Jaksa Indonesia Jelaskan Ketentuan Penyelesaian Perkara Korupsi Koneksitas
Sebagai tambahan informasi, Perkara Nomor 87/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Gugum Ridho Putra (Pemohon). Pemohon mengujikan secara materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945.
Pemohon menguji Pasal 42 UU KPK. Kemudian kata “Penyidik” pada ketentuan Pasal 89 ayat (2), frasa kata “Menteri Kehakiman” pada Ketentuan Pasal 89 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), Pasal 91 ayat (2) dan Pasal 94 ayat (5), frasa kata “jaksa atau jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 90 ayat (1), ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (1), dan Pasal 91 ayat (3), frasa kata “jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 93 ayat (1), frasa kata “Jaksa Agung” pada ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 93 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), frasa kata “Penuntut Umum” pada ketentuan Pasal 91 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), dan Pasal 93 ayat (1) KUHAP.
Pemohon menyebut kerugiannya terkait kewenangan penyidikan tindak pidana koneksitas atau tindak pidana yang melibatkan pihak-pihak dari kalangan sipil maupun kalangan militer pada saat bersamaan khususnya untuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Pemohon mencermati penanganan perkara-perkara korupsi yang mengandung koneksitas di KPK lebih condong mengedepankan penghukuman kepada pelaku dari kalangan sipil saja. Pemohon meyakini, ketidakprofesionalan KPK menangani perkara koneksitas itu disebabkan oleh ketidakjelasan norma-norma yang mengatur penyidikan dan penuntutan tindak pidana koneksitas.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan UU KPK dan KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Antara lain yaitu frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan