JAKARTA (Suara Karya): Proses penggantian dua hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK), Laica Marzuki dan Soedarsono, yang pensiun pada 5 Mei serta 5 Juni 2008, diprotes keras oleh Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi (Amuk-MK).
Sementara itu nama hakim konstitusi baru M Arsyad Sanusi dan Abdul Halim Syahran yang berasal sekaligus disodorkan Mahkamah Agung (MA) tidak tergoyahkan lagi.
"Keppresnya sudah ada. Pak Laica Marzuki akan digantikan mantan Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Sulawesi Selatan (Sulsel), M Arsyad Sanusi, tinggal pengambilan sumpahnya saja," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK, Janedjri M Gaffar, pekan lalu, di Jakarta.
Janedjri menjelaskan, proses pergantian akan mulai dilaksanakan pada awal Juni. "Ini karena Pak Laica baru pensiun pada 5 Mei, ia efektif pensiun pada akhir Mei. Jadi awal Juni pengucapan sumpah penggantinya," tuturnya.
Hakim Konstitusi Soedarsono juga akan memasuki masa pensiun pada 5 Juni ini. Ia akan digantikan mantan Ketua PT Sulawesi Tenggara, Abdul Halim Syahran. "Keppresnya pun sudah ada. Tinggal pengucapan sumpah pada Juli mendatang," ungkap Janedjri.
Menurut Janedjri, nama M Arsyad Sanusi dan Abdul Halim Syahran sudah disodorkan MA sejak MK mengirimkan surat meminta pergantian hakim konstitusi. "Begitu Ketua MK mengirim surat, MA langsung menanggapinya dan menyodorkan dua nama," jelasnya.
Amuk-MK mengkritik keras mekanisme pemilihan calon hakim konstitusi yang dilakukan MA secara diam-diam, tanpa transparansi dan partisipasi publik.
"Proses pemilihan hakim konstitusi harus memenuhi prinsip transparansi dan partisipasi. Hal itu sesuai Pasal 19 UU No 24 tahun 2003 MK. Jika dua prinsip itu diabaikan, hasilnya cacat hukum," kata anggota Amuk-MK, Hermawanto.
Menurut Hermawanto, MA sebelumnya telah didesak untuk menangguhkan proses pemilihan hakim konstitusi. Namun tetap dipaksakan, sehingga dinilai cacat hukum.
Proses seleksi hakim konstitusi, kata Hermawanto, seharusnya menganut prinsip transparansi dan partisipasi sebagaimana diisyaratkan Pasal 19 UU MK. Pada pasal itu ditetapkan, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa, baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan.
Selain itu, Pasal 20 Ayat (1) UU MK menyatakan, tata cara pengajuan, seleksi, dan pemilihan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang mengajukan.
"Selama ini MA tidak pernah mengumumkan secara resmi siapa saja yang diajukan menjadi hakim konstitusi, parameternya apa dan mekanismenya bagaimana. "Seharusnya dibeberkan dan masyarakat diberi ruang untuk memberi masukan," kata Taufik Basari menambahkan.
Mekanisme pemilihan yang tertutup ini diduga sengaja dilakukan MA untuk kepentingan tertentu. "Bisa jadi mereka yang dipilih adalah hakim yang bisa mengamankan posisi MA jika terjadi sengketa di MK," ujar Taufik. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id