Ada empat pasal KUHP yang "ditembak". Satu pasal diminta agar MK menyatakan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tiga lainnya diminta agar dinyatakan conditionally constitutional.
Janji Bersihar Lubis untuk mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mendekati kenyataan. Surat kuasa sudah diberikan kepada Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers). Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana menyatakan akan segera mendaftarkan permohonan judicial review sisa pasal hatzaai artikelen (pernyataan penebar permusuhan) itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). âKita akan daftarkan, Rabu (7/5),â ujarnya di kantor LBH Pers, Jumat (2/5).
Hendrayana menilai ketentuan yang menjerat Bersihar dengan satu bulan penjara dan masa percobaan tiga bulan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Apalagi, rombongan pasal sejenis sudah dinyatakan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK. Di antaranya adalah Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP (Pasal penghinaan persiden) serta Pasal 154 dan Pasal 155 (Pasal menyatakan permusuhan dengan pemerintah). Sepengetahuan Hendrayana, pasal-pasal yang akan diajukannya ini merupakan sisa terakhir hatzaai artikelen dalam KUHP.
Secara lengkap, Pasal 207 berbunyi "Barangsiapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan dan tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".
LBH Pers tak hanya membawa satu pasal itu saja ke MK. Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 316 KUHP juga diminta agar diuji oleh para penjaga konstitusi. Khusus untuk tiga pasal ini, yang menjadi pemohonnya adalah Risang Bima Wijaya. Pemimpin Umum Harian Radar Yogya ini pun harus merasakan pahitnya penjara selama 6 bulan gara-gara pasal ini.
Pasal 310 KUHP
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 311 KUHP
(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 316 KUHP
Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam Bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pegawai negeri pada waktu atau karena menjalankan tugas yang sah.
Hendrayana mengatakan pengajuan judicial review ini bertujuan untuk melindungi para wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik. âPasal-pasal itu selama ini selalu menjadi momok bagi jurnalis,â ujarnya. Memang, kenyataannya, yang dirugikan bukan hanya Risang atau Bersihar saja. Berdasarkan catatan LBH Pers, dalam kurun waktu satu tahun, Mei 2007-Mei 2008, tercatat ada sebelas kasus pidana yang menimpa jurnalis maupun media terkait pemberitaan.
Selain itu, Hendrayana mengharapkan setelah permohonannya dikabulkan tak ada lagi perdebatan mengenai UU Pers lex specialis dari KUHP atau bukan. Karena, bila permohonan ini dikabulkan maka pihak-pihak yang lebih sering menggunakan KUHP dibanding UU Pers tak akan bisa berdalih lagi. âMau tidak mau, mereka harus menggunakan UU Pers. Karena rujukannya hanya itu,â jelasnya.
Minta Konstitusional Bersyarat
Uniknya, meski pasal yang akan diajukan oleh Risang dan Bersihar berada dalam satu permohonan, Hendrayana akan menerapkan strategi yang berbeda. Draft permohonan memang sudah siap, namun Hendrayana mengaku masih akan mencoba untuk memperbaikinya.
Hendrayana memaparkan tiga pasal yang dimohonkan oleh Risang tak perlu dibatalkan seluruhnya. Ia lebih memilih agar ketiga pasal itu dinyatakan conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat. Ketiga pasal itu bisa tetap eksis tetapi dengan syarat, profesi wartawan dikecualikan. âAgar MK mengecualikan pasal-pasal itu bagi wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik,â tuturnya.
Sedangkan untuk Pasal 207, permintaan agar dibatalkan merupakan harga mati. âPasal itu (Pasal 207,red) harus dicabut,â tegas Hendrayana.
Dua Pendapat
Dihubungi terpisah, Mantan Staf Ahli MK Irman Putra Sidin mengemukakan pendapatnya mengenai permintaan conditionally constitutional. Menurutnya, ada dua pendapat mengenai hal itu. Khususnya, terkait permintaan itu bisa masuk dalam petitum permohonan atau tidak.
Pendapat pertama, lanjut Irman, adalah menolak permintaan conditionally constitutional berada di petitum. âIni adalah pandangan konservatif,â ujarnya kepada hukumonline. Rujukannya adalah UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang meminta agar materi muatan dalam pasal, ayat atau bagian dalam UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Bertentangan dengan UUD 1945 diartikan dengan definisi yang kaku.
Sedangkan pendapat kedua, cenderung membolehkannya. Irman mengaku setuju dengan pendapat ini. âMK saja bisa memutus di luar yang diminta. Berarti pemohon juga bisa meminta di luar ketentuan yang ada,â jelasnya. Lagipula, lanjut Irman, sepanjang sejarah MK tak ada permohonan dinyatakan NO (tak dapat diterima) karena petitumnya aneh. Apalagi, menurut Irman amar putusan MK cukup beragam. Ada menolak, mengabulkan, atau mengabulkan sebagian. Sehingga semuanya tergantung kepada para hakim konstitusi.(Ali)
Sumber www.hukumonline.com (03/05/08)
Foto http://ppmimataram.files.wordpress.com/2007/12/pers.jpg