Tim perumus pemerintah sudah menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor Desember silam. Presiden masih menimbang alternatif beberapa klausul. Di tengah setumpuk beleid, DPR siap merampungkan tahun ini.
Obrolan sejumlah tokoh pemerhati dan praktisi hukum Rabu (30/4) jelang siang itu cukup penting. Meski terbungkus suasana santai, mereka berbicara soal nasib Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. (RUU Tipikor). Diskusi itu digagas oleh Komisi Reformasi Hukum Nasional (KRHN).
Mereka yang meriung di Restoran Pulau Dua Senayan itu antara lain Denny Indrayana dari Universitas Gadjah Mada serta Bambang Widjojanto, seorang aktivis bidang hukum dan HAM cum pengacara. Ada pula Direktur Jenderal Perundang-undangan Dephukham Abdul Wahid Masru. Anggota Komisi Yudisial Soekotjo Soeparto turut serta. Nongol juga Sri Hariningsih, staf ahli perundang-undangan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat. Tak ketinggalan Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti.
Mereka punya keresahan yang sama: RUU ini jangan sampai molor dan harus segera disahkan. Padahal, menurut Bambang, kondisi sudah makin mendesak. Menurut Bambang, angka kemiskinan yang meluas merupakan buah dari korupsi yang makin menjadi-jadi. Lagipula, di sektor perikanan, sudah terbentuk peradilan perikanan. âJadi ikan lebih beradab daripada koruptor,â celetuknya.
Terpisah, Ketua Tim Penyusun RUU Tipikor Prof. Romli Atmasasmita menjelaskan beleid itu sudah tuntas di tingkat Dephukham pada Desember lalu. Selanjutnya, Menhukham Andi Matalatta akan membawanya ke rapat kabinet terbatas. âMungkin paling lambat akhir Mei ini selesai dan siap dikirim ke DPR,â tuturnya lewat telepon, Rabu (30/4).
Anggota Komisi III Patrialis Akbar menandaskan parlemen siap merampungkan beleid ini. Cuma, politisi asal Partai Amanat Nasional ini mengingatkan, komisi bidang hukum dan HAM ini punya pe-er setumpuk RUU. âAda RUU Ombudsman dan RUU Palang Merah,â tuturnya memberi beberapa contoh, via telepon (30/4).
Patrialis memandang, jika RUU ini belum disahkan, toh sudah ada mekanisme yang berjalan dengan cukup baik. âKPK saat ini melimpahkan berkas ke Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat,â kilahnya. Namun, ada baiknya, menurutnya, RUU ini segera dibahas di Senayan. Dan untuk itu, âsaya optimis rampung tahun ini,â sergapnya.
Perppu?
Abdul Wahid pun berucap optimis. âSaya harus katakan demikian,â ujarnya sambil mengebulkan asap rokok ringan Avolution seusai makan siang di resto itu. Menurutnya, perdebatan di tingkat antarmenteri adalah wajar. Apalagi, semua keputusan terpulang kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Amanat Presiden (Ampres). Abdul menerangkan RUU ini merupakan salah satu RUU Program Legislasi Nasional tahun ini.
Pembentukan Pengadilan Tipikor ini dilandasi pada Putusan Mahkamah Konstitusi 2006. Paling lambat pengadilan khusus ini harus terbentuk pada 19 Desember 2009 âtiga tahun setelah putusan MK. Karena itu, menurut Denny, waktu sudah makin mendesak. Denny menawarkan solusi, pemerintah perlu menyodorkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Usulan Denny ini justru kurang sreg bagi Sri Hariningsih. Menurutnya, jika pemerintah serta-merta menyodorkan sebuah perppu, ada kemungkinan besar parlemen menolak. âSeperti ada fait accompli,â jelasnya.
Abdul Wahid pun sepakat dengan Sri. Menurutnya, sebuah perppu perlu punya argumentasi kondisi darurat. âDarurat apa? Darurat hukum?â sergahnya. Meski demikian, Abdul Wahid mengakui argumentasi bisa disusun. Abdul mencontohkan Perppu tentang Kawasan Perdaganan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang lancar disahkan tahun lalu. âUU Kepailitan juga awalnya berangkat dari perppu,â tandasnya.
Di titik ini, nampaknya para pemerhati hukum tersebut berada di persimpangan jalan soal perbedaan metode untuk mendorong segera disahkannya RUU ini. karena itu, Ketua Badan Pelaksana Harian KRHN Firmansyah Arifin mengusulkan untuk membahas lagi strategi lebih lanjut. âAkan kita lihat,â tuturnya.
Terlepas dari strategi guna mendorong percepatan pembahasan, ada baiknya kita intip kerangka RUU ini. Berikut beberapa poin penting.
Hakim ad hoc
Abdul Wahid menandaskan, komposisi hakim ad hoc sudah final, yakni 3:2. Artinya, sebuah majelis hakim terdiri dari tiga hakim ad hoc dan dua hakim karir. âKomposisinya kita perbanyak yang hakim ad hoc,â tuturnya.
Firman mengusulkan keberadaan hakim ad hoc ini diperjelas. Kejelasan itu menyangkut masa jabatan serta tunjangan. âJangan terlalu lama sehingga mereka terima tunjangan tanpa bekerja,â tuturnya.
Romli menjelaskan, hakim ad hoc ini harus punya keahlian khusus. Penetapan hakim ad hoc ini oleh Ketua Pengadilan Negeri. Keahlian khusus ini, misalnya, âuntuk kasus korupsi tanah, harus ada hakim yang ahli bidang pertanahan,â tulis Romli dalam makalah yang dikirim kepada hukumonline via email. Seleksi hakim ad hoc ini dilakukan oleh Panitia Seleksi, yang diketuai oleh Ketua Mahkamah Agung.
Soal tunjangan, Romli menjelaskan hakim ad hoc hanya diberi tunjangan fungsional sebulan sekali. Selain itu, ada uang sidang. Hakim ad hoc punya masa jabatan empat tahun dan dapat dipilih satu kali lagi.
Soekotjo menggarisbawahi kompetensi dan integritas hakim. Selama ini, menurut Soekotjo, hakim tipikor cukup baik. âBuktinya, aduan yang diterima KY kebanyakan dari pengadilan umum,â tuturnya sebelum meninggalkan ruangan. KY merupakan komisi yang menilai kinerja para hakim.
Pemeriksaan pendahuluan
RUU Tipikor ini melengkapi tata beracara dengan adanya proses pemeriksaan pendahuluan. âHal ini bagus, supaya jaksa dapat menyempurnakan dakwaan,â komentar Firman. Dalam Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), istilah ini disebut âdismissal processâ. Romli menamainya âpre-trialâ atau âpreliminary court hearingâ. Dengan demikian, hakim dapat meneliti dan mengklarifikasi kejelasan, kelengkapan, dan kecermatan materi dakwaan.
Romli berharap, adanya ketentuan ini, tak ada lagi kesan lempar tanggung jawab antara jaksa penuntut umum dan majelis hakim. Sehingga, penanganan korupsi, âtak ada lagi "permainan" antara jaksa, hakim, dan penasihat hukum yang merugikan terdakwa juga negara,â sambungnya.
Romli melanjutkan, khusus dalam pemeriksaan pendahuluan, juga ditetapkan bahwa hakim yang menangani pemeriksaan pendahuluan tidak dapat memeriksa dan memutus perkara pidana tipikor dalam sidang pemeriksaan perkara pokok.
Peninjauan kembali
Firman menyambut gembira perpanjangan jangka waktu proses peradilan. Firman mengeluhkan rentang hari dari pemeriksaan pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, hingga kasasi hanya 90-60-90. âItu tidak cukup bagi hakim untuk menguak kebenaran materiil,â timpalnya. Firman mencontohkan, kasus korupsi mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh saja perlu 49 orang saksi. Sedangkan kasus Syaukani butuh 70-an saksi.
Romli buka kartu, proses pemeriksaan dan penyidikan awal peradilan tingkat pertama 150 hari. Lalu tingkat banding selama 90 hari. Dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung menjadi 150 hari. Tujuannya, âsupaya hakim punya waktu lebih cukup,â sambung Romli.
Beleid ini juga mengakomodasi mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Firman memandang, UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi belum menampung ketentuan PK. Jangka waktu PK adalah 60 hari.
Kedudukan dan wewenang
Romli menjelaskan, kedudukan pegadilan khusus tipikor tetap berada di bawah lingkungan peradilan umum. Kedudukannya juga tidak merupakan lingkungan peradilan baru karena pembentukan lingkungan peradilan baru memerlukan perubahan UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Wewenang pengadilan ini, menurut Romi, telah diperluas. Tidak hanya meliputi perkara tindak pidana korupsi, tetapi juga mencakup perkara tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi. Dus, tindak pidana lain yang disebutkan secara tegas dalam UU Lain sebagai tindak pidana korupsi.
Perluasan wewenang tersebut bertujuan agar penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara komprehensif, dan tuntas. Dengan demikian, peradilan ini dapat mewujudkan prinsip âzero toleranceâ dalam pemberantasan korupsi. Pendekatan âclear, finality, and zero toleranceâ (CFZ) itu bertujuan mencegah dan membuat jera para pelaku korupsi. Bisa juga untuk, âmencegah pelarian aset korupsi ke manca negara,â sambung Romli.
Dalam sebuah acara di Bandung tengah Maret lalu, Romli juga menandaskan kedudukan pengadilan ini harus merambah daerah. Menanggapi ide tersebut, Firman mengusulkan pendirian pengadilan tipikor di Medan, Balikpapan, Samarinda, Surabaya, serta Makassar. âSesuai dengan tingkat kompleksitas perkara korupsi di daerah dan kedekatan lokasi,â ujarnya.
Baik Romli, Firman, Bambang, dan lainnya berharap, keberadaan pengadilan tipikor ini dapat mengakhiri dualisme sistem peradilan. Inilah peradilan yang khusus menangani perkara korupsi, baik dari Kejaksaan Agung maupun KPK. Kita tunggu saja gregetnya.(Ycb)
Sumber www.hukumonline.com (02/05/08)
Foto http://www.hi-technews.net/data/img/news238_img1.jpg