JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan pemeriksaan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2024 (PHPU DPR/DPRD) yang diajukan Caleg DPRD dari Partai Golongan Karya (Golkar) Nomor Urut 8, M. Tahir, pada Rabu (29/5/2024). Agenda sidang Perkara Nomor 29-02-04-18/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 ini yaitu mendengar keterangan saksi/ahli, memeriksa dan mengesahkan bukti tambahan.
Para pihak yang diperdengarkan keterangannya, dari Ahli yang dihadirkan Pemohon yakni Aswanto dan saksi-saksi yakni Suhaini, M. Yunus, Wildan Himawan. Sementara Termohon menghadirkan saksi-saksi yakni Firmasnyah, Muhamad, Abdul Hamid.
Di hadapan Majelis Sidang Panel 2 yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani ini, Aswanto menerangkan soal penggelembungan atau penambahan dan/atau pengurangan suara tertentu adalah kejahatan pemilu, bahkan menurut Pasal 505 UU Pemilu merupakan kejahatan. Dalam kewenangannya, MK dapat mengembalikan posisi perolehan suara sebagai suatu bentuk hukuman.
Oleh sebab itu, sambung Aswanto, jika ada bukti penggelembungan/pengurangan yang dilakukan dengan modus-modus tertentu oleh oknum penyelenggara dapat dicermati melalui penyelenggara yang tidak permanen. Sebagai ilustrasi Aswanto menyebutkan pada tingkat TPS, PPK, adalah petugas ad hoc yang menjadi garda terdepan untuk menentukan adil atau tidak adilnya penyelenggara dalam melakukan rekapitulasi secara berjenjang.
“Modus pada kasus yang didalilkan Pemohon ini berupa perubahan angka yang tidak sesuai aturan, PKPU 25/2003 menjelaskan jika ada kesalahan, maka dapat dilakukan koreksi dengan tata yang harus dipatuhi. Di antaranya tidak menggunakan penghapus cair, tetapi hasil yang keliru tersebut dicoret dan coretannya tetap terbaca dan nilai yang dianggap benar ditulis di samping atau di atasnya dengan diparaf oleh saksi serta petugas. Jika tidak dilakukan, maka itu tindakan manipulatif atau tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 532 UU Pemilu,” jelas Aswanto.
Tidak Dibahas Sama Sekali
Selanjutnya, Pemohon melalui Suhaini selaku saksi mandat dari PKN pada tingkat Kabupaten Dompu memberikan keterangan tentang keberatannya yang tidak digubris oleh penyelenggara pemilu. Pada 29 Februari 2024 pukul, ia dan pihak Pemohon mengajukan keberatan atas hasil rekapitulasi pada 7 kecamatan di Dompu. Lalu pada 1 Maret 2024 saat kembali menjadi saksi mandat ketika rekapitulasi di Kecamatan Dompu, ia kembali berlangsung mempersoalkan mekanisme penyelesaian dari keberatan yang sudah diajukan pada hari sebelumnya termasuk keberatan Pemohon.
“Namun saat rapat pleno tersebut sama sekali tidak dibahas oleh KPU Kab. Dompu mereka mengajukan penyelesaian dengan mengembalikan kepada forum dengan voting. Hasilnya, masalah keberatan kami tidak dibahas sama sekali. Jadi hanya sedikit ruang diskusi yang diberikan penyelenggara kepada saksi,” sampai Suhaini.
Kemudian saksi berikutnya, M. Yunus menerangkan peristiwa dugaan pergeseran suara yang dilaporkan oleh enam orang penyelenggara pemilihan di tingkat kecamatan yang terdiri atas PPK dan Panwascam yang menceritakan padanya. Singkatnya, ia hanya mendapati cerita atau pengakuan dari para penyelenggara tersebut tanpa menyebutkan secara pasti pergeseran suara tersebut menimpa pihak-pihak yang dimaksud.
Perolehan Suara Pemohon
Sementara Firmasnyah sebagai Ketua KPPS TPS 08 Desa Ranggo Kecamatan Pajo dalam keterangan menyebutkan perolehan suara Pemohon pada TPS tersebut adalah 0 suara, sedangkan Pihak Terkait mendapatkan 32 suara. Kemudian dalam keterangan saksi berikutnya, Muhamad selaku anggota KPPS TPS 19 Kandai II, Kecamatan Woja menyebutkan Pemohon mendapatkan 1 suara, sedangkan Pihak Terkait mendapatkan 30 suara. Sedangkan saksi terakhir, Abdul Hamid selaku saksi dari TPS 17 Kelurahan Simpasai Kecamatan Weja menyebutkan bahwa Pemohon mendapatkan 0 suara dan Pihak Terkait mendapatkan 42 suara.
“Suara sah untuk Partai Golkar pada TPS itu ada 44 suara. Semua saksi yang hadir menandatangani hasil yang disampaikan pada saat penetapan hasilnya,” sebut Abdul.
Baca juga:
Sesama Caleg DPRD Golkar Berselisih Untuk Perolehan Kursi Kesepuluh di Dapil NTB 6
Sidang Pendahuluan yang digelar pada Kamis (2/5/2024) lalu, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 sepanjang Dapil Nusa Tenggara Barat 6. Melalui Eko Saputra (kuasa hukum Pemohon), Pemohon menyebutkan berdasarkan keputusan tersebut Dapil NTB 6 adalah 11 kursi. Dalam hal perolehan kursi kesepuluh menurut Pemohon merasa lebih berhak mendapatkannya. Sebab perolehan suara yang didapatkan oleh Caleg Golkar Nomor Urut 7 atas nama Efan Limantika yang ditetapkan Termohon tersebut memperoleh tambahan suara dengan cara melawan hukum. Dari persandingan perolehan suara yang ditetapkan Termohon kepada Caleg Nomor Urut 7 adalah 11.802 dan Pemohon adalah 11.227, sehingga terdapat selisih 638 suara. Hal ini bahkan terjadi di 35 TPS di 7 kecamatan di Kabupaten Dompu, di antaranya Kecamatan Woja, Pajo, Kilo, Manggelewa, Pekat, Dompu, dan Hu’u.
Baca juga:
Tak Ada Perubahan Perolehan Suara Caleg DPRD Partai Golkar Dapil NTB 6
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.