JAKARTA(SINDO) â Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku masih sulit melacak rekening para pejabat dan mantan pejabat yang diindikasikan menyimpang.
Menurut Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar, salah satu kendalanya berada pada Undang-Undang (UU) Perbankan. Haryono menjelaskan, dalam UU Perbankan, ada klausul yang melarang membuka rekening seseorang dengan alasan kerahasiaan. Dengan aturan ini, sulit bagi KPK untuk menembus dan membuka rekening seseorang.
Padahal, menurut dia, banyak dugaan korupsi yang ditangani KPK justru berawal dari laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). âBanyak kasus yang inkracht asalnya dari LHKPN. Cuma kita tidak ekspos karena proses LHKPN dan penyelidikan adalah proses pencarian informasi, jadi tidak diungkap,â tandas Haryono di Kantor KPK, Jakarta, kemarin.
Untuk memudahkan kerja KPK dalam mengungkap rekening bermasalah itu, Haryono mengaku pihaknya sudah berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) agar bisa membangun data nasabah terpadu. Dengan data ini, menurut dia, aliran rekening para penyelenggara negara bisa diawasi baik oleh BI maupun KPK. âYang paling penting bagi kita adalah adanya data nasabah terpadu.
Misalkan, begitu ada yang melaporkan kekayaan si A, kita bisa mengetahui informasi rekening dia di mana saja, jumlahnya berapa,â ungkapnya. Penggunaan teknologi transaksi keuangan yang begitu cepat, ujar Haryono, membuat dana bisa berpindah ke mana-mana dengan cepat pula.
Jika hal ini tidak diantisipasi sejak dini, akan lebih menyulitkan KPK dalam menemukan aliran dana bermasalah. Selain BI, KPK juga berencana menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). âJadi nantinya, jika KPK meminta informasi soal transaksi, PPATK akan menyediakan secepatnya,â tandas dia.
Sementara itu, Kepala PPATK Yunus Husein mengatakan, data nasabah terpadu memang bisa memudahkan dalam memantau rekening bermasalah. Sayangnya, data ini tidak pernah terealisasi di Indonesia. Untuk memudahkan memantau transaksi mencurigakan, Yunus berharap agar revisi UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang segera dibahas dan disahkan.
Dalam revisi itu akan dimuat kewajiban semua penyedia jasa keuangan untuk melaporkan transaksi mencurigakan ke PPATK. âKPK sudah mengusulkan itu. Mudah-mudahan bisa diakomodasi sehingga ada kewajiban melapor,â katanya.
Yunus menyatakan, PPATK tidak bersifat proaktif. Artinya, PPATK hanya bisa menunggu laporan dari penyedia jasa keuangan ataupun KPK terkait indikasi rekening bermasalah. Dari laporan itu, kata Yunus, PPATK baru bisa menelusuri suatu transaksi dalam suatu rekening pejabat. âKita tidak bisa mencari-cari,â paparnya. (rijan irnando purba)
Sumber www.seputar-indonesia.com
Foto www.google.co.id