JAKARTA(SINDO) â Komisi X DPR sudah menyiapkan Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Perfilman sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota Komisi X DPR Angelina Sondakh mengaku,Panja RUU Perfilman sebenarnya sudah dibentuk sejak beberapa tahun lalu. Bahkan, Komisi X sudah beberapa kali menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan masyarakat perfilman. âKami sudah membentuk Panja RUU Perfilman sejak 2006,â ungkap Angelina kepada SINDO kemarin.
Meski demikian, politikus Partai Demokrat ini mengatakan, diskusi soal RUU Perfilman itu belum masuk pada pembahasan yang mendalam.Namun, Angelina mengutarakan keseriusan Komisi X untuk segera memasukkan RUU Perfilman dalam agenda pembahasan di DPR. âKami serius untuk membahas RUU ini dengan menerima banyak sekali masukan tentang dunia film dan industrinya,â ujar Angelina.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi X lainnya, Lukman Hakiem.Dia menyatakan, Komisi X siap membahas perubahan UU Perfilman untuk menggantikan UU No 8/1998 yang dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman. Lukman menuturkan, diskusi soal perlunya pembentukan RUU Perfilman yang baru sudah dibahas di DPR sejak tahun lalu.
Saat itu,Komisi X menilai UU No 8/1998 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman serta dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Sejauh ini, RUU Perfilman belum masuk dalam agenda pembahasan di DPR.âBeberapa kali Komisi X melakukan rapat dengar pendapat dengan para pemangku kepentingan perfilman.
Pemerintah pun dalam hal ini Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik setuju. Malah, rencananya RUU Perfilman yang baru merupakan inisiatif pemerintah,â ujar Wakil Ketua FPPP DPR ini. Seperti diketahui, MK menolak usulan pembubaran Lembaga Sensor Film (LSF). Namun MK meminta pembentukan UU Perfilman baru.
Majelis hakim MK menilai UU No 8/1992 tentang Perfilman yang berlaku saat ini, termasuk ketentuan yang mengatur sensor dan LSF, sudah tidak sesuai dengan semangat zamannya. Hal ini mendesak dibentuknya UU Perfilman yang baru beserta ketentuan mengenai sistem penilaian film yang baru.
Putusan itu merupakan hasil sidang uji materiil UU No 8/1992 yang diajukan oleh lima pemohon, yaitu Annisa Nurul Shanty K (aktris), Muhammad Rivai Riza (sutradara film), Nur Kurniati Aisyah Dewi alias Nia Dinata (produser film), Lalu Rois Amriradhiani (penyelenggara festival film), dan Tino Saroengallo (pengajar dan sutradara film).
Dalam permohonannya, mereka meminta MK membatalkan Pasal 1 ayat 4 Bab V,Pasal 33 ayat (1â7),Pasal 34 ayat (1â3),Pasal 40 ayat (1â3), dan Pasal 41 ayat (1) huruf b UU Perfilman.Sebab, mereka menilai bahwa pasalpasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 C ayat (1) dan Pasal 28 F UUD 1945.
Perwakilan Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang juga sutradara film Muhammad Rivai Riza (Riri Riza) meminta pihak terkait, yakni pemerintah dan DPR,untuk segera melakukan perubahan atas UU Perfilman. Sebab, jika tidak, kata dia, adanya LSF serta beberapa pasal sensor yang berada di dalamnya sudah tidak lagi konstitusional. âIntinya, harus ada perubahan dalam UU tersebut,â kata Rivai.
Menurut dia, terkait perintah MK agar segera dilakukan perubahan atas UU Perfilman, pihaknya mewakili MFI akan mengajukan format klasifikasi agar publik bisa melihat bahwa MFI punya konsep yang diharapkan bisa mengawal proses perubahan UU atau pasalpasal tentang sensor di dalam UU Perfilman.
âKlasifikasinya akan dilakukan di setiap proses yang akan berjalan, kita sedang memprosesnya,â tandasnya. Dalam format klasifikasi yang akan diajukan itu,papar Riri, nantinya setiap film yang dihasilkan akan mencantumkan kepada siapa film tersebut layak ditonton.âJadi kita akan mengusulkan agar semuanya diklasifikasikan, mulai dari anak-anak hingga segala umur,âujarnya. (maya sofia/rahmat sahid)
Sumber www.seputar-indonesia.com
Foto www.google.co.id