Uji materi ditolak, tapi memberi peluang menghapus lembaga sensor.
JAKARTA--Mahkamah Konstitusi (MK) menolak penghapusan Lembaga Sensor Film (LSF), namun mendorong dibuatnya Undang-Undang (UU) Perfilman baru. Dengan demikian, keinginan memberangus LSF dari lima orang pentolan Masyarakat Film Indonesia (MFI)--yang mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang No 8/1992 tentang Perfilman--untuk sementara kandas.
Sekitar 20 massa Front Pembela Islam (FPI) yang turut hadir mengikuti sidang pembacaan putusan uji materi UU Perfilman tersebut, Rabu (30/4), menyambut gembira putusan tersebut. Mereka serentak menyerukan kalimat takbir begitu mendengar putusan MK yang terdengar membela penyelamatan moral bangsa. Padahal, itu bukan kemenangan mutlak. Buktinya, Riri Riza, salah seorang dari lima pemohon uji materi, meski berada pada kubu yang dikalahkan MK, tetap bisa tersenyum.
Sineas muda itu mengingatkan, Majelis Hakim Konstitusi dalam putusannya memberikan pernyataan bahwa UU Perfilman kini bersifat "konstitusional bersyarat" sebagai jalan dibuatnya UU Perfilman baru. 'Itu ada dalam putusan yang menyatakan bahwa UU Perfilman yang berlaku saat ini, termasuk LSF, tidak sesuai dengan semangat zamannya hingga sangat mendesak untuk dibentuk UU Perfilman yang baru,' tuturnya.
Pemohon uji materiil adalah Annisa Nurul Shanty K (aktris), M Rivai Riza (Riri Riza, sutradara film), Nur Kurniati Aisyah Dewi (produser film), dan Rois Amriradhiani (penyelenggara festival film). Mereka menilai ketentuan tentang penyensoran dalam UU Perfilman telah melanggar Pasal 28 C Ayat 1 dan Pasal 28 huruf f UUD 1945.
Namun, dalam proses uji materi itu, aktor kawakan Deddy Mizwar menilai tuntutan yang dilakukan MFI tak lebih bermuara untuk meloloskan seks dan sadisme. Dia pun siap pasang badan untuk mencegah demoralisasi dunia film nasioal itu.
Akhirnya, Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai Jimly Asshiddiqie juga menyatakan seluruh permohonan uji materiil mereka ditolak. 'Keberadaan sensor dan LSF tetap konstitusional sehingga permohonan kelima pemohon tidak dapat dikabulkan,' kata Jimly.
Majelis Hakim Konsitusi menganggap tidak benar dalil para pemohon yang menganggap bahwa norma yang mengatur keberadaan sensor dan LSF telah membatasi kebebasannya untuk berkreasi dan mengembangkan diri. Namun, pembatasan yang demikian itu dimungkinkan oleh Pasal 28 J Ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan UU.
'Dengan demikian, suatu institusi yang berfungsi melakukan penilaian atas suatu film yang akan diedarkan ke masyarakat, apa pun namanya, yang dibentuk oleh negara bersama masyarakat perfilman memang tetap dibutuhkan agar film yang diedarkan tidak mengganggu atau merugikan hak asasi orang lain,' papar Jimly.
Pengelompokan usia
Namun, benar kata Riri. Kendati menolak permohonan uji materi, Majelis Hakim Konstitusi menyimpulkan UU Perfilman saat ini sudah tidak sesuai semangat zaman dan diperlukan UU Perfilman baru. 'Namun, untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum yang berakibat ketidakpastian hukum, keberadaan UU Perfilman beserta ketentuan tentang sensor dan LSF yang termuat di dalamnya tetap dapat dipertahankan keberlakuannya,' kata Jimly.
Jimly menegaskan UU Perfilman saat ini bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Dengan ketentuan, pelaksanaannya harus dimaknai dengan semangat baru untuk menjunjung tinggi demokrasi dan HAM. Dari sembilan anggota Majelis Hakim Konstitusi, ada satu hakim yang menyataan perbedaan pendapat (dissenting opinion), yaitu Laica Marzuki. Ia berpendapat, sudah saatnya dibentuk semacam lembaga klasifikasi film atas dasar pengelompokan usia penonton ketimbang penyensoran.
'Sistem klasifikasi tidak memberikan batasan akan kebebasan berpendapat dan berekspresi,' ujarnya. Dia menyebutkan negara Amerika Serikat, Brasil, Australia, dan Denmark sebagai contoh negara yang sudah menerapkan sistem klasifikasi film tersebut. n ade
( )
sumber: www.republika.co.id / 2 Mei 2008
Foto: google